Oleh :
Dhea Irene Sianipar,
Mahasiswi Politeknik Keuangan Negara – Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (PKN-STAN)
***
PANDEMI Covid-19 yang melanda dunia sejak Desember 2019 lalu sejauh ini terbukti telah menimbulkan berbagai dampak negatif dalam sektor perekonomian.
Sejumlah negara seperti Singapura, Hongkong, Eropa, dan termasuk juga Uni Eropa tercatat memiliki pertumbuhan ekonomi negatif pada triwulan pertama tahun 2020 ini.
Sedangkan berdasarkan data yang dilansir oleh Badan Pusat Statistik, Indonesia tercatat memiliki pertumbuhan ekonomi positif sebesar 2,97% pada triwulan pertama 2020.
Walaupun positif, data tersebut menunjukkan penurunan sebesar 2% dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan sebelumnya.
Dampak terhadap pertumbuhan ekonomi akibat pandemi tentu sangat dirasakan oleh bank selaku institusi yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan/atau pembiayaan.
Pembayaran kembali pokok pinjaman dan bunga kredit oleh debitur di masa pandemi Covid-19 tentu akan mengalami hambatan yang dapat diakibatkan berbagai hal, mulai dari berbagai kebijakan pembatasan dari pemerintah untuk mencegah penyebaran virus, meningkatnya angka pemutusan hubungan kerja secara signifikan, dan menurunnya tingkat daya beli masyarakat.
Untuk menjaga stabilitas kinerja perbankan dari ancaman tersebut, sebagaimana telah kita ketahui bersama, pada Maret 2020 lalu, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) selaku lembaga pengawas jasa keuangan, telah menerbitkan peraturan atau POJK No. 11/POJK.03/2020 tentang Stimulus Perekonomian Nasional sebagai Kebijakan Countercylical Dampak Penyebaran Coronavirus Disease 2019.
OJK mengharapkan bahwa POJK ini dapat mendorong optimalisasi fungsi intermediasi perbankan, menjaga stabilitas sistem keuangan, dan mendorong pertumbuhan ekonomi di masa pandemi Covid-19 ini.
Lebih jauh lagi, POJK tersebut mengatur tentang stimulasi pertumbuhan ekonomi, yakni melalui kebijakan penetapan kualitas aset dan kebijakan restrukturisasi kredit atau pembiayaan oleh bank.
Kualitas kredit/pembiayaan yang direstrukturisasi dapat ditetapkan lancar apabila debitur terkena dampak dari penyebaran Covid-19.
Restrukturisasi kredit/pembiayaan dapat dilakukan sesuai peraturan OJK mengenai penilaian kualitas aset, antara lain: (1) penurunan suku bunga; (2) perpanjangan jangka waktu; (3) pengurangan tunggakan pokok; (4) pengurangan tunggakan bunga; (5) penambahan fasilitas kredit/pembiayaan; dan/atau (6) konversi kredit/pembiayaan menjadi penyertaan modal sementara.
Lalu, apakah semua debitur berhak untuk mendapatkan perlakuan khusus sebagaimana selama masa pandemi Covid-19 ini?
Sayangnya, POJK memberlakukan pembatasan bahwa debitur yang mendapatkan perlakuan khusus tersebut adalah debitur, termasuk juga debitur usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), yang usahanya terdampak baik secara langsung maupun tidak langsung pada sektor ekonomi, antara lain pariwisata, transportasi, perhotelan, perdagangan, pengolahan, pertanian, dan pertambangan.
Lebih jauh lagi di bagian penjelasan POJK dinyatakan bahwa contoh beberapa kondisi debitur terdampak antara lain:
(a) terkena dampak penutupan jalur transportasi dan pariwisata dari dan ke Tiongkok atau negara lain yang telah terdampak Covid-19 serta travel warning di beberapa negara;
(b) terkena dampak dari penurunan volume ekspor impor secara signifikan akibat keterkaitan rantai suplai dan perdagangan dengan Tiongkok ataupun negara lain yang telah ter dampak Covid-19;
ataupun (c) terkena dampak terhambatnya proyek pembangunan infrastruktur karena terhentinya pasokan bahan baku, tenaga kerja, dan mesin dari Tiongkok ataupun negara lain yang telah terdampak Covid-19.
Namun demikian, POJK tersebut juga menyatakan bahwa debitur dengan sektor ekonomi selain dalam bidang yang disebutkan di atas dapat juga menerima perlakuan khusus sebagaimana ketentuan POJK sepanjang Bank memiliki pedoman internal yang menjelaskan kriteria debitur yang terkena dampak tersebut.
Sejak diundangkan dan berlaku pada 16 Maret 2020 lalu, kebijakan ini bukan hanya mendapatkan dukungan namun sayangnya juga tidak terlepas dari kritik.
Terdapat pandangan bahwa terlepas dari terbantunya kinerja bank akibat diberikannya kualitas aset lancar kepada debitur yang terdampak pandemi Covid-19 ini, kebijakan POJK ini dikhawatirkan dapat mengganggu likuiditas dari bank karena terhambatnya perputaran arus kas yang dalam bank selama pandemi ini masih berlangsung.
Selain itu, penerapan kebijakan ini oleh bank juga mungkin saja berbeda-beda dikarenakan adanya kebebasan bagi bank untuk mengadopsi pedoman internal atau SOP masing-masing.
Hal ini tentu dapat mengurangi kepastian dan keberlakuan kebijakan ini serta mungkin saja implementasi yang diterapkan oleh bank berbeda dengan maksud dan tujuan dari diterapkannya POJK ini.
Kritik lainnya yang muncul sehubungan dengan penerapan POJK ini adalah status dari restrukturisasi yang dilakukan berdasarkan kebijakan berlaku sampai dengan satu tahun ini.
Setelah masa berlaku POJK ini selesai, bank akan kembali kepada kebijakan dan pedoman internal masing-masing, termasuk juga pada kriteria penilaian kualitas aset masing-masing.
Hal tersebut memungkinkan terjadinya penurunan kualitas aset dari debitur ke kondisi yang sebenar-benarnya.
Pada akhirnya akan muncul ketidakpastian apakah debitur harus melakukan perubahan perjanjian kreditnya atau melakukan kembali proses restrukturisasi mengingat penilaian kualitas aset mereka selama pandemi Covid-19 tidak lagi berlaku.
Lantas bagaimana realitas penerapan dari POJK tersebut oleh bank?
Seorang narasumber yang bekerja sebagai Credit Analyst dari salah satu bank BUMN di Indonesia menyatakan sejak diberlakukannya POJK tersebut, bank BUMN tersebut sudah memiliki pedoman internal yang mengatur lebih rinci mengenai kriteria debitur yang terdampak oleh pandemi Covid-19 ini.
Kriteria yang lebih rinci tersebut penting untuk diatur untuk mengantisipasi adanya debitur yang sebenarnya tidak terdampak tapi meminta untuk dilakukan restrukturisasi.
Selain itu, terhadap kepastian apakah setelah POJK ini selesai berlaku pada Maret 2021 nanti status kualitas aset dari debitur akan kembali ke kondisi semula, narasumber tersebut menyatakan hal tersebut belum tentu akan langsung dikembalikan ke status semula, melainkan akan dilakukan review lebih lanjut kembali terhadap tiap debitur tersebut.
Pentingnya dilakukan analisis dan review terhadap debitur sebagai bentuk penerapan POJK ini merupakan hal vital yang perlu dilakukan oleh bank, tidak hanya untuk mengantisipasi hal yang terjadi setelah POJK ini selesai berlaku nanti, tetapi juga menghindari adanya debitur yang meminta restrukturisasi ulang selama pandemi ini masih berlangsung.
Demikianlah pada akhirnya memang kita perlu mengapresiasi tindakan pemerintah melalui POJK ini sebagai upaya mencegah dampak krisis di sektor perbankan akibat pandemi Covid-19 ini.
Namun pada implementasinya, masih diperlukan berbagai strategi lebih lanjut dan pentingnya penerapan prinsip kehati-hatian untuk mengantisipasi dampak yang terjadi apabila pandemi ini berlangsung lebih lama dari perkiraan pemerintah pada awalnya.
Tentu kita semua mengharapkan agar pandemi Covid-19 ini cepat berlalu, namun alangkah lebih baik jika pemerintah dan seluruh masyarakat tetap mempersiapkan diri menghadapi kemungkinan terburuk yang dapat terjadi kepada sektor perekonomian di Indonesia. (*)
Artikel ini adalah opini pribadi penulis dengan judul asli: “Penerapan POJK Tentang Stimulus Perekonomian Nasional Sebagai Kebijakan Countercyclical Dampak Penyebaran Covid-19: Ekspektasi dan Realitas”. Khusus ditulis untuk Prosumut.com