Prosumut
Opini

Jimmy, Please Don’t Cry

Oleh: Batara L. Tobing (Kolumnis Prosumut.com)

PROSUMUT – Joni was the girl who lived next door. I’ve known her I guess ten years or more. Joni wrote me a note one day. And this is what she had to say.

Jimmy, please you’ll wait for me. I’ll grow up someday you’ll see. Saving all my kisses just for you. igned with love, forever true.

Syair lagu di atas adalah potongan lyrik dari lagu ‘Don’t Cry Joni’ yang digubah oleh pengarang lagu country Amerika Conway Twitty sekitar tahun tujuh puluhan yang pernah masuk dalam daftar 100 lagu Billboard Hot di Amerika.

Menceritakan tentang Jimmy yang berteman mesra dengan sahabat wanita nya, Joni sang tetangga rumah.

Jimmy yang begitu ngebet untuk mempersunting Joni sang kekasih hati, terbentur soal usia.

Joni sang wanita idaman nya masih berumur 16 tahun, masih sangat belia untuk diajak menikah, tunggulah setelah beranjak dewasa, aku akan tetap menunggumu, begitu perasaan dan tanggapan Joni kepada Jimmy.

Bukan hanya Joni, tentu kedua orang tuanya pun pasti lah tidak setuju untuk merestui putri mereka menikah di usia begitu muda.

Jimmy yang sedang dilanda kasmaran sedikit patah hati, namun berupaya melupakan gundah gulana hatinya dengan sibuk meniti karir, bekerja di kota yang berjauhan.

Saat bertahun tahun meniti karir di kota lain dan menjadi pria yang mapan meniti karir yang bagus, Jimmy kembali ingat sang kekasih dimasa lalu, terutama janji Joni sang pujaan hati yang telah berjanji akan tetap menanti sampai cukup dewasa untuk menikah.

Berangkatlah Jimmy kembali pulang ke kotanya hanya untuk menemui Joni sang pujaan hati yang kerap membayangi pikirannya disela sibuk pekerjaannya sehari hari, tentu untuk menagih janji di masa lalu.

Namun apa daya, disaat menemui Joni sang pujaan hati, ternyata dia telah menikah dengan John sahabat baik Jimmy sendiri di masa lalu yang penuh kenangan.

Jimmy patah hati, berusaha dihibur dan dijelaskan oleh Joni tentang keputusannya ditahun tahun penuh penantian mereka yang berada di dua kota yang berjauhan; Jimmy, please don’t cry.., jangan menangis..

Begitulah kerap kisah kehidupan, komitmen di masa lalu seringkali berubah seiring berlalunya waktu.

Banyak hal yang mengikis ingatan dan komitmen terhadap janji di masa lalu yang mengubah pendirian seorang insan, yang bahkan sekokoh apapun komitmen di masa lalu itu.

Kisah yang mirip di dunia politik tentu saja sangat banyak dan bahkan dengan cerita yang beragam soal komitmen atau janji politik.

Bayangkan, bagaimana seorang poltikus berjanji saat berkampanye untuk mendapatkan suara rakyat di daerah pemilihannya. Janji berapi api untuk memperjuangkan daerahnya disaat berkuasa.

Namun janji tinggal janji, bulan madu dengan para pemilih di daerah pemilihannya hanya sekedar mimpi, begitu realitanya.

Musibah banjir dan longsor di tiga provinsi Aceh, Sumut dan Sumbar membuktikannya, bagaimana para wakil rakyat di dapil masing masing jarang atau bahkan tidak pernah berjuang untuk menghentikan pembalakan dan perusakan hutan yang berujung banjir bandang dan tanah longsor di daerahnya sendiri.

Yang terjadi justru pencitraan yang dilakukan para petinggi dengan adu selfie disaat musibah, seolah mencitrakan seorang pejuang rakyat.

Bayangkan seorang menteri yang di masa lalu memberi izin penambangan di hutan yang mengakibatkan kerusakan hutan, berselfie ria di medsos dengan memanggul sekarung beras, ingin mencitrakan diri sebagai robin hood kepada rakyat yang menderita, urusan panggul memangggul itu sebenarnya pekerjaan seorang kuli panggul.

Seorang menteri diberi gaji tinggi dan fasilitas oleh negara dengan harapan sang pemimpin di kementeriannya dapat berpikir konseptual, membuat keputusan yang bermanfaat dan maslahat yang luas bagi rakyat, bukan sekedar memanggul sekarung beras yang hanya ingin bercitra berbeda.

Bekerja di dalam diam itu jauh lebih berpahala, bahkan lebih dikenang oleh masyarakat.

Bayangkan bila para pemimpin berupaya keras menjaga kelestarian hutan, menjaga tata ruang dengan baik, tentu maslahat yang lebih dahsyat didapatkan oleh rakyat, bahkan bagi dirinya sendiri sebenarnya.

Walau banjir dengan intensitas tinggi, sedikit banyak akar tunggang kayu yang kokoh di hutan akan menahan air, berbeda dengan pohon kelapa sawit berakar serabut yang rawan terkikis banjir.

Bila tanah tidak menjadi ‘kroak’ akibat penambangan yang membabi buta, longsor tidak dengan mudah melanda pemukiman, binatang langka tidak akan musnah.

Bila hutan tidak dilakukan pembalakan membabi buta, tentu air bah tidak akan membawa hasil tebangan pohon menimpa rumah rumah penduduk dan memenuhi sungai sungai dengan limbah.

Namun aturan begitu mudah diabaikan, maka alam yang selalu taat dengan hukum sebab akibat dan selalu mencari keseimbangan akan tetap pada fitrahnya, alam marah saat bumi dirambah dan disakiti.

Komitmen para pemimpin disaat kampanye untuk menjaga rakyatnya begitu mudah berubah.

Kisah sedih akan selalu berulang bila alam tidak dijaga, pemimpin semestinya berdiri kokoh untuk keselamatan dan kesejahteraan rakyatnya.

Wahai para pemimpin dan pembuat serta pelaksana kebijakan, bertobatlah… (*)

Konten Terkait

Gas untuk Negeri

Editor prosumut.com

Luhut Pandjaitan & LB Moerdani, Kesetiaan yang Tegak Lurus

Editor prosumut.com

Hipertensi : “the Silent Killer”

Editor prosumut.com

Psikopolitik di Balik Silaturahmi

Editor prosumut.com

Jenderal Listyo Sigit Prabowo, Institusi Polri, Indonesia Maju, dan Persatuan Nasional

Editor Prosumut.com

Spirit Nasionalisme, Sosialisme & Humanisme: Obituari DR SAE Nababan

Editor prosumut.com
PROSUMUT
Inspirasi Sumatera Utara