PROSUMUT – Sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar, potensi perkembangan ekonomi syariah di Indonesia sangat besar.
Salah satu indikator pesatnya pertumbuhan ekonomi syariah ini bisa dilihat dari momen kebangkitan pasar modal syariah Indonesia sejak 10 tahun lalu, yang ditandai dengan peluncuran Indeks Saham Syariah Indonesia (ISSI), Fatwa DSN-MUI Nomor 80 Tahun 2011, dan Sharia Online Trading System (SOTS).
Selain itu, jumlah investor yang bertransaksi efek syariah di Pasar Modal Indonesia kian bertambah dalam satu dekade, diikuti semakin besarnya transaksi efek syariah.
Kepala Bursa Efek Indonesia (BEI) Perwakilan Sumut, M Pintor Nasution menyampaikan, efek syariah di pasar modal terdiri atas sejumlah instrumen seperti saham syariah, sukuk, reksadana syariah dan etf syariah.
Saham syariah dan sukuk biasa dibeli dan dikelola sendiri tiap investor. Sedangkan reksadana dan etf syariah, dikelola oleh manajer investasi.
Investor bisa membeli reksadana syariah melalui manajer investasi yang mengelola reksadana syariah, atau melalui agen penjual reksadana, seperti bank dan agen penjual lainnya.
“Bagaimana seorang investor atau manajer investasi mengetahui saham yang dipilihnya adalah saham yang memenuhi kriteria saham syariah? Jadi, aktivitas perdagangan di pasar modal diawasi Otoritas Jasa Keuangan (OJK). OJK lah yang mengumumkan Daftar Efek Syariah (DES). OJK menyeleksi saham-saham emiten atau perusahaan publik yang sesuai dengan prinsip syariah bersama Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI),” terang Pintor, Jumat 16 April 2021.
Dia melanjutkan, DES diterbitkan OJK sebanyak dua kali dalam setahun atau setiap semester.
Penetapan efek syariah ini dilakukan berdasarkan beberapa kriteria, mulai dari kegiatan usaha, rasio utang berbasis bunga/riba terhadap aset, hingga rasio persentase pendapatan non-halal terhadap total pendapatan.
Pada tahun 2007, Bapepam-LK menerbitkan Peraturan Bapepam dan LK Nomor II.K.1 tentang Kriteria dan Penerbitan Daftar Efek Syariah dan diikuti dengan peluncuran DES pertama kali oleh Bapepam dan LK.
Ketika itu rasio keuangan yang dipakai adalah rasio utang berbasis bunga/riba terhadap ekuitas, yang toleransinya tidak boleh lebih dari 82 persen.
“Selanjutnya pada 2012, dilakukan perubahan terhadap kriteria tersebut dengan diterbitkannya Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor: KEP-208/BL/2012. Rasio utang terhadap ekuitas diganti menjadi rasio utang terhadap aset dan berlaku hingga saat ini. Persentase rasionya juga berubah. Saat ini kriteria screening saham syariah adalah rasio utang berbasis bunga/riba terhadap aset tidak boleh lebih dari 45 persen, kegiatan emiten tidak bertentangan dengan prinsip syariah, dan pendapatan non-halal terhadap total pendapatan tidak boleh lebih dari 10 persen,” paparnya.
Pintor menjelaskan, screening saham untuk penerbitan DES melewati dua tahap. Pertama, screening efek syariah dilakukan terhadap kegiatan usaha emiten.
Namun, masih menjadi pertanyaan apakah kegiatan usaha emiten ini bertentangan dengan prinsip syariah atau tidak?.
“Kegiatan usaha yang dikategorikan efek syariah antara lain tidak melakukan kegiatan usaha di bidang perjudian, kegiatan perdagangan yang dilarang, jual beli risiko yang mengandung unsur ketidakpastian, memperdagangkan barang haram, transaksi yang mengandung unsur suap, dan jasa keuangan ribawi. Jika tidak melakukan kegiatan-kegiatan tersebut, maka emiten lulus seleksi tahap awal,” jelasnya.
Kedua, analisis rasio keuangan perusahaan. Dalam tahap ini emiten yang memiliki usaha yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah diseleksi kembali total utang berbasis bunga/riba dibandingkan total asetnya yaitu tidak boleh melebihi 45 persen.
Selain itu, total pendapatan non-halal dibandingkan dengan total pendapatan seluruhnya tidak boleh melebihi 10 persen.
“Maka, apabila emiten memenuhi semua kriteria tersebut, maka sahamnya akan masuk dalam daftar efek syariah yang diterbitkan OJK,” ujarnya.
Dia menambahkan, pada saham syariah yang dikelola manajer investasi selain portofolio reksadana harus sesuai dengan syariah juga terdapat mekanisme cleansing.
Mekanisme cleansing diatur dalam POJK No. 33/POJK.04/2019 tentang Penerbitan dan Persyaratan Reksadana Syariah.
Beleid tersebut mengatur pemisahan dana non halal melalui penjualan efek yang sudah tidak lagi syariah di dalam portofolio reksadana syariah.
Apabila dalam waktu lebih dari 10 hari efek tersebut belum terjual, maka selisih harga penjualan tidak boleh diakui sebagai keuntungan berupa capital gain, melainkan harus dialokasikan menjadi dana sosial.
“Di samping itu, mekanisme cleansing ini tidak hanya dilakukan atas dasar kedua kondisi di atas, tetapi juga pemisahan harta non halal dari adanya unsur bunga dalam penyimpanan rekening investasi syariah di bank kustodian dan pendapatan non halal lainnya,” imbuhnya. (*)
Reporter : Rayyan Tarigan
Editor : Iqbal Hrp
Foto :