Prosumut
Opini

Disertasi Tokoh Publik

Oleh: Batara L. Tobing (Kolumnis Prosumut.com)

PROSUMUT – Bisa dimaklumi kalau tokoh publik akan lebih sulit menyelesaikan kegiatan akademis yang sedang dijalaninya, karena semua gerak-geriknya pastilah akan diikuti oleh masyarakat melalui media massa atau media sosial, di samping kesibukan kegiatan sehari-hari yang dijalaninya tentu menguras waktu dan tenaga yang tidak sedikit.

Itu pula yang dialami oleh Bahlil Lahadalia, seorang politikus dan birokrat, sosok ketua partai yang sekaligus menjabat sebagai Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral saat menyelesaikan kegiatan akademik pada Program Doktoral Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia.

Tetapi, ternyata hipotesis itu tidak belaku bagi Bahlil yang hanya butuh waktu tiga semester untuk maju ke sidang disertasi untuk promosi doktoralnya dan berhasil lulus dengan predikat cumlaude dari Universitas ternama di Indonesia itu.

Tentu membuat rasa iri bagi para dosen dan tenaga pendidik yang selama bertahun-tahun berkutat melakukan studi dan penelitian, namun tidak kunjung mendapat kesempatan promosi doktoralnya, yang justru berkaitan langsung dengan karirnya sebagai tenaga pendidik.

Secara rasional dapat dibayangkan bagaimana perkuliahan doktoral secara standar dilakukan?

Biasanya, perkuliahan tatap muka doktoral dilakukan minimal dua semester. Lalu, di semester ketiga baru dapat mengajukan proposal penelitian dan kolokium, tidak termasuk matrikulasi bagi mahasiswa dengan bidang ilmu yang berbeda dengan ilmu yang sedang diikuti di program doktoral.

Di semester ketiga pula dimulai pengajuan sidang proposal disertasi (bukan sidang promosi doktor). Otomatis, biasanya penelitian baru dapat dilakukan maksimum pada semester keempat.

Di samping itu, biasanya mahasiswa S3 wajib melakukan publikasi Jurnal Scopus yang butuh waktu lama pula. Itu sebabnya banyak mahasiswa doktoral yang tertahan di kegiatan akademik wajib dan bahkan ada yang sampai frustasi, kehabisan energi dana atau waktu yang tidak bisa di-substitusi-kan dan kendala teknis serta non teknis lainnya.

Karenanya, promosi doktoral seorang Bahlil Lahadalia ini mendapatkan atensi begitu luas dari masyarakat. Bukan hanya para akademisi, bahkan rakyat biasa sekali pun mempertanyakan kejujuran proses akademik yang sedang dipertontonkan dalam proses promosi doktoral kali ini di universitas keren yang membawa nama Indonesia.

Mempertanyakan bagaimana marwah universitas dipertaruhkan demi kelulusan seorang Bahlil Lahadalia, yang mungkin bagi karir pribadinya, gelar doktoral tidak lah begitu berpengaruh signifikan. Berbeda dengan seorang yang berkarir sebagai tenaga pendidik misalnya.

Bagi Universitas Indonesia sendiri, apakah dengan proses maha cepat seorang Bahlil menyelesaikan disertasinya ini mengindikasikan birokrasi akademik yang sangat lancar? Atau justru menurunkan marwah akademis yang disanjungnya selama ini?

Sebagai seorang tokoh publik, disertasi doktoral yang dipertahankan oleh promovendus Bahlil juga mendapatkan perhatian lebih.

Masyarakat menjadi kepo, keinginan tahu seperti apa sebenarnya penelitian yang dilakukan dan bagaimana simpulan disertasi yang dipertahankannya sehingga mendapatkan predikat lulus secara cumlaude.

Di media sosial yang beredar di masyarakat, uraian disertasi yang dipidatokan oleh Bahlil, netizen malah membincangkannya di medsos menjadi diskusi dan polemik panjang lebar.

Ambil contoh poin, simpulan dan rekomendasi pada disertasinya tentang hilirisasi pertambangan dengan usulan untuk mendorong reformulasi kebijakan kemitraan investor dengan perusahaan daerah.

Fakta gagasan Bahlil tentang prioritas izin usaha pertambangan khusus yang diformalkan menjadi perundang-undangan di Peraturan Pemerintah nomor 25 tahun 2024, memberikan ruang khusus prioritas kepada organisasi kemasyarakatan (ormas) keagamaan, bukan kepada Badan Usaha Milik Daerah (BUMD).

Justru disertasi ini menjadi antitesis terhadap Peraturan Pemerintah tentang pengelolaan pertambangan yang memberi prioritas kepada ormas keagamaan, bukan kepada BUMD.

Disertasi Bahlil ini, tentang reformulasi kebijakan untuk memberi ruang kepada daerah sebetulnya juga sudah diamanahkan di dalam Undang undang Minerba yang seharusnya menjadi payung hukum dalam pengelolaan pertambangan, wajib dilaksanakan.

Terlepas dari kepiawaian para penguji promovendus di kursi disertasi untuk dapat meyakinkan dunia akademik, bahwa seorang Bahlil layak menyandang gelar doktoral dengan predikat cumlaude, masyarakat yang menjadi terusik atas citra Universitas Indonesia yang selama ini memang cukup tinggi membutuhkan klarifikasi yang memadai karena lembaga pendidikan tinggi ini membawa nama Indonesia.

Walaupun seorang Rocky Gerung bercelutuk bahwa ijazah atau sertifikat pendidikan adalah tanda seseorang pernah bersekolah, bukan tanda seseorang berpikir, namun menurut saya, berpikir dalam proses akademik itu wajib hukumnya. (*)

Editor: M Idris

Konten Terkait

Hang Tuah, Hang Jebat, Ferdy Sambo

Editor prosumut.com

Prestasi Polri : Idham Azis & Listyo Sigit Prabowo Memaknai Komitmen Jokowi Tangkap Dan Tindak Djoko Tjandra

admin2@prosumut

FDT Jangan Seperti Pepatah Melayu, ‘Buruk Rupa Cermin Dibelah’

Editor prosumut.com

Menyala Timnas Indonesia

Editor prosumut.com

Langkat dan Empat Destinasi Andalan

admin2@prosumut

Pro & Kontra Eksistensi BPR Pada Era Digital: Apakah Masih Relevan?

admin2@prosumut
PROSUMUT
Inspirasi Sumatera Utara