Oleh: Batara L. Tobing (Kolumnis Prosumut.com)
PROSUMUT – Kejadian korupsi yang seolah tiada putusnya di negeri ini menginspirasi sebagian orang dengan mengibaratkan perkara korupsi seolah menjadi sebuah kompetisi dengan tayangan viral di media sosial tentang klasemen sementara perkara korupsi dengan menyebut peringkat papan atas klasemen.
Antara lain, kasus korupsi tambang timah dan perkara pengelolaan bahan bakar minyak di Pertamina dinilai dari besaran kerugian negara diakibatkannya yang mencapai hingga triliunan rupiah.
Sebagian masyarakat awam menjadi berpikir bahwa nilai kerugian negara yang telah dipublikasikan oleh aparat penegak hukum, seolah besaran duit yang telah ditilep dan masuk ke kocek para tersangka atau terdakwa sesuai yang telah disangkakan, didakwa atau diputuskan oleh majelis hakim tipikor.
Namun demikian, sebenarnya dalam perkara korupsi tidak serta merta otomatis memperkaya pihak yang disangkakan atau didakwakan, karena Undang Undang Tipikor yang berlaku mendefinisikan korupsi sebagai sebuah perbuatan melawan hukum berakibat merugikan keuangan negara, di samping memperkaya diri tersangka atau terdakwa korupsi, juga perbuatan yang memperkaya orang lain.
Ambil contoh kerugian negara dalam perkara korupsi tambang timah yang disimpulkan oleh majelis hakim tipikor kurang lebih 300 triliun rupiah, dimana sebanyak 271 triliun rupiah kerugian negara adalah kerugian ekologi lingkungan dan biaya pemulihannya.
Sebagian kerugian negara lainnya adalah perhitungan atas selisih pembayaran terhadap lima pemilik smelter swasta sebesar 2, 28 triliun rupiah.
Ditambah hitungan lainnya atas pembayaran PT Timah terhadap biji timah yang diterima dari hasil penambangan illegal sebesar 26, 6 triliun rupiah.
Masyarakat umumnya tidak mengetahui tempus delicti atau masa terjadinya kerugian negara yang mengakibatkan kerusakan lingkungan yang menjadi “cut – off” penghitungan kerugian negara di perkara tambang timah itu.
Termasuk locus delicti atau tempat kejadian perkara, dimana lokasi lingkungan hidup yang dianggap rusak sehingga dihitung sebagai kerugian negara, tentu dapat menjadi hitungan yang bias bila hanya menjadi tanggung jawab pihak yang dijadikan terpidana.
Besaran kerugian negara yang dihitung oleh para penyidik, auditor atau putusan majelis hakim dalam perkara pidana korupsi yang seolah diperlombakan lengkap dengan sebuah daftar klasemen korupsi yang menggelitik orang awam tentang bagaimana caranya berbagai institusi menghitung nilai kerugian negara yang telah dipublikasikan kepada khalayak ramai.
Menjadi pertanyaan, bagaimana dengan nilai kerugian dalam penghitungan kerugian keuangan negara yang dilakukan auditor atau aparat penegak hukum atas nilai yang berbeda bila berbeda “cut off” dan atau lingkup area wilayah rusak lingkungan yang dijadikan sebagai acuan penghitungan kerugian negara?
Bukankah ini menjadi hasil penghitungan kerugian keuangan negara yang bombastis dan masih uncertainty?
Sebenarnya bagaimana lazimnya kerugian keuangan negara dihitung menurut audit yang dilakukan oleh para auditor?
Walaupun dalam Undang undang tindak pidana korupsi nomor 31 tahun 1999 pasal 2 dan pasal 3 menyatakan perbuatan melawan hukum dan penyalahgunaan wewenang yang “dapat merugikan negara” sebagai unsur untuk memenuhi delik pidana korupsi.
Namun, Mahkamah Konstitusi dalam putusannya di tahun 2017 memutuskan bahwa aparat penegak hukum harus membuktikan adanya kerugian negara sebelum melakukan penyidikan perkara korupsi dengan maksud agar penyidikan tidak menjadi sewenang wenang.
Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi di tahun 2017 itu, hakim konstitusi menjelaskan bahwa frasa “dapat” dalam pasal 2 ayat (1) dan pasal 3 UU Tipikor No.31/1999 dinyatakan inkonstitusional dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Dalam ranah pidana korupsi, sebenarnya kewenangan menetapkan kerugian negara yang timbul dalam suatu perkara pudana korupsi hanya ada pada majelis hakim tipikor.
Walaupun aparat penegak hukum dapat menghitung sendiri kerugian negara yang terjadi dalam pidana korupsi, namun kebanyakan perkara tindak pidana korupsi yang ditangani, APH tetap meminta auditor untuk menghitung kerugian negara yang timbul, dimana hasil penghitungan melalui audit akan ditransformasikan menjadi alat bukti hukum dalam suatu persidangan tindak pidana korupsi.
Dalam praktkknya, auditor yang menghitung kerugian keuangan negara bisa saja dari institusi BPK, BPKP, Inspektorat atau Kantor Akuntan Publik (KAP), tidak menjadi masalah asalkan berdasarkan standar audit, pedoman teknis, prosedur yang sesuai aturan perundang undangan, karena hakim tipikor akan menimbang nimbang hasil hitungan para auditor itu sebelum diputuskan menjadi alat bukti yang sah menurut hukum acara pidana, karena konteksnya adalah perkara pidana.
Lantas, bagaimana seorang auditor menghitung kerugian negara? Mengapa seringkali penyebutan ganda antara “Kerugian Negara” atau “Kerugian Keuangan Negara”?
Oleh karena hasil penghitungan kerugian negara mestinya dilakukan berdasarkan metode dan keahlian yang spesifik, maka selama ini disiplin ilmu yang dimiliki oleh auditor berbasis akuntansi dan auditing lah yang dianggap sebagai kompetensi yang tepat, baik metode penghitungannya maupun body of knowledge yang dimiliki profesi ini.
Walaupun dalam ilmu akuntansi dan auditing tidak ada teori atau metode baku yang digunakan untuk menghitung kerugian negara, tetapi dalam praktiknya auditor akan menggunakan metode yang tepat sesuai dengan typikal maupun keadaan kasus tipikor yang terjadi, misalnya metode nett loss, metode harga wajar, metode harga pokok, metode opportunity cost, metode total loss dan lain lain.
Silahkan auditor memilih metode yang paling tepat menurut kasus yang ditangani, namun metode yang digunakan wajib memperhatikan peraturan perundang undangan yang berlaku serta dapat dipertanggung jawabkan secara profesional judgement.
Walaupun dalam konteks perundang undangan disebut terminology “Kerugian Negara”, tetapi seorang auditor umumnya selalu memaknainya sebagai “Kerugian Keuangan Negara” dalam konteks penghitungan yang lebih rasional dan dapat dihitung berdasarkan asersi yang lazim dalam akuntansi.
Contoh, dalam kasus illegal fishing atau illegal logging misalnya, kayu di hutan atau ikan di laut perairan Indonesia adalah kekayaan negara. Namun hampir tidak pernah dihitung oleh auditor sebagai kerugian negara dalam konteks pidana korupsi, karena ikan di laut atau kayu di hutan tidak pernah tercatat nilainya dalam neraca negara.
Karena itu, auditor biasanya menghitung dalam konteks “Kerugian Keuangan Negara”, baik itu keuangan negara yang tidak dipisahkan maupun keuangan negara yang dipisahkan.
Dalam konteks kerugian negara yang terjadi di kasus tambang timah dan kasus oplos BBM Pertamina tampaknya kerugian keuangan negara yang dihitung oleh auditor atau APH adalah berdasarkan metode “Total Loss”, yang sebenarnya merupakan salah satu metode dengan kategori pilihan terakhir apabila tidak ada lagi metode lain yang lebih meyakinkan.
Karena pakemnya, nilai kerugian negara yang muncul dari penghitungan mestinya “Nyata dan Pasti”, pakem penghitungan kerugian negara yang juga tertuang menurut Undang Undang No. 15/ 2006 tentang BPK maupun Undang Undang No. 31/1999 tentang PemberantasanTipikor.
Dengan metode total loss yang dipakai, akan banyak menuai asumsi asumsi dan ketidak pastian (uncertainty) akuntansi yang menjadi celah dalam ranah hukum.
Demikian pula dalam penghitungan kerugian keuangan negara, auditor wajib menentukan “Cut Off” dan ruang lingkup terjadinya kerugian keuangan negara yang biasanya disesuaikan dengan “Tempus Delicti” maupun “Locus Delicti” terjadinya pidana menurut aparat penegak hukum, karena nilai penghitungan kerugian negara selalu dikaitkan dengan pihak pihak yang bertanggung jawab atas kerugian negara itu pada perkara korupsi.
Masalah Cut Off versi auditor versus Tempus Delicti dan ruang lingkup area yang diaudit versus Locus Delicti ini memang seringkali menjadi sengkarut antara auditor dengan penyidik. Auditor seringkali pada akhirnya terpaku pada skema penyidik atau sebaliknya.
Soal ini pulalah yang mungkin ada dalam benak para hakim dalam memutuskan perkara secara adil yang seringkali membawa mereka pada Dissenting Opinion, sesuatu yang meragukan sehingga tidak mendapatkan hasil putusan aklamasi diantara majelis hakim tindak pidana korupsi. (*)
