PROSUMUT — Mutasi Aparatur Sipil Negara (ASN) luar daerah yang siap diimpor ke lingkungan Pemerintah Kota (Pemko) Medan terus berlanjut.
Kuat dugaan, peran Sekretaris Daerah (Sekda) Kota Medan, Wiriya Alrahman sangat vital dalam proses mutasi ini.
Informasi di internal Pemko Medan yang berhasil dihimpun Prosumut, bakal menyusul 6-7 ASN impor dari sejumlah kabupaten/kota untuk masuk ke lingkup Pemko Medan. Antara lain, dari Deli Serdang, Tebing Tinggi, dan Pematang Siantar.
ASN dan pejabat Pemko Medan mulai menunjukkan kegelisahan akan dinamika yang terjadi saat ini.
Dikabarkan, ada lebih dari 200 pejabat yang dinonjobkan di masa Bobby Nasution menjadi Wali Kota Medan.
Karier mereka terancam semakin redup dengan kedatangan ASN ataupun pejabat impor di luar lingkungan Pemko Medan.
Menurut pemerhati pemerintahan Dr Farid Wajdi, isu tersebut mencerminkan kegagalan serius tata kelola birokrasi.
Diutarakan Founder Ethics of Care sekaligus Anggota Komisi Yudisial periode 2015–2020 ini, mutasi dan promosi jabatan seharusnya dilakukan secara transparan, objektif, dan berbasis kinerja.
Namun, jika dugaan adanya peran calo benar terjadi, maka hal itu menunjukkan adanya praktik manipulatif yang melanggar etika dan prinsip meritokrasi dalam birokrasi.
“Publik melihat adanya aliran kepentingan yang kuat, tetapi pimpinan justru memilih diam.
Diam dalam konteks ini bukan netralitas, melainkan persetujuan terselubung terhadap pelanggaran etika dan manipulasi kewenangan,” tegas Farid menjawab wartawan, Senin 22 Desember 2025.
Farid secara khusus menyinggung dugaan keterlibatan Sekda Kota Medan, Wiriya Alrahman, yang disebut-sebut berperan sebagai penghubung atau calo mutasi ASN dan pejabat dari luar daerah ke lingkungan Pemko Medan.
Meski dugaan tersebut belum diuji secara hukum, Farid menilai sikap pasif Wiriya dan Wali Kota Rico Waas justru memperkeruh situasi.
Ia menilai Wali Kota Medan semestinya tampil tegas dan terbuka, bukan sibuk menjaga citra.
Sikap defensif dan menghindari substansi persoalan justru berisiko menekan ASN yang ingin bekerja secara profesional dan berintegritas.
“Ketika gengsi dan pencitraan lebih diutamakan daripada penegakan aturan, ASN yang bekerja lurus justru berhadapan dengan risiko karier. Ini berbahaya bagi moral birokrasi,” ujarnya.
Farid juga menyoroti lemahnya peran badan kepegawaian yang seharusnya menjadi garda terdepan pengawasan mutasi dan promosi.
Dia pun menilai lembaga tersebut terlihat pasif, bahkan berpotensi hanya menjadi legitimasi formal atas prosedur yang diduga menyimpang.
“Hukum dan aturan hanya menjadi hiasan jika tidak ditegakkan. Dokumen kebijakan terlihat indah, tetapi praktiknya jauh dari prinsip keadilan dan transparansi,” sebutnya.
Ia mendesak agar Pemko Medan segera melakukan audit internal secara menyeluruh, membuka akses kepada aparat penegak hukum, serta memeriksa setiap dugaan pelanggaran tanpa kompromi.
Kata Farid, retorika normatif dan sikap mengulur waktu tidak akan menyelesaikan persoalan.
“Dalam birokrasi, sikap pasif adalah bentuk pengkhianatan paling nyata terhadap prinsip pelayanan publik,” ucapnya.
Farid mengingatkan jika isu ini dibiarkan tanpa penanganan serius, maka kepercayaan publik terhadap Pemko Medan akan terus tergerus.
Moral ASN melemah, legitimasi kekuasaan runtuh, dan praktik manipulasi akan semakin mengakar.
“Isu calo mutasi harus menjadi alarm keras. Pemerintah hadir bukan untuk mempertahankan simbol dan gengsi, tetapi untuk menegakkan hukum dan etika birokrasi. Dalam skandal seperti ini, diam bukan pilihan,” pungkasnya. (*)
Reporter: Pran Wira
Editor: M Idris

