PROSUMUT – Mantan Komisioner KPU RI, Evi Novida Ginting sudah melayangkan gugatannya ke PTUN Jakarta, Jum’at 17 April 2020. Gugatan yang dilayangkan Evi didampingi 7 kuasa hukum dengan menamakan diri mereka sebagai Tim Advokasi Penegak Kehormatan Penyelenggara Pemilu.
Evi menilai, putusan DKPP sudah mencampuri kemandirian KPU dan mengintervensi Mahkamah Konstitusi. Dalam amar putusan DKPP No 317/2019, Evi bertanya terhadap hasilnya. Apalagi pada poin nomor 3.
“Putusan DKPP 317/2019 amar nomor 3 yang memberhentikan saya sebagai Anggota KPU, ditetapkan DKPP tanpa memeriksa Pengadu maupun saya selaku Teradu. Saya bertanya-tanya, apakah ada prosedur penyelesaian perselisihan etika di DKPP selain dari prosedur yang berpedoman kepada prinsip ‘audi et alteram partem’ sesuai UU 7/2017 tentang Pemilu, Peraturan KPU 3/2017 tentang Pedoman Beracara Kode Etik Penyelenggara Pemilu sebagaimana diubah dengan Peraturan KPU 2/2019 menganut prinsip “audi et alteram partem” secara tersurat lagi tegas,” beber Evi didampingi Kuasa Hukum, Heru Widodo, Hasan Tua Lumbanraja dan kawan-kawan dalam keterangan tertulis yang diterima Prosumut.com, Minggu 19 April 2020.
Pada sidang pertama, pengadu juga sudah mencabut pengaduannya. Dan pengadu tidak bersedia lagi hadir dalam sidang kedua.
“Pengadu tidak pernah memberi keterangan dibawah sumpah dalam sidang DKPP sebagaimana diwajibkan Pasal 31 ayat (4) huruf b Peraturan DKPP 3/2017 Jo Peraturan DKPP 2/2019. Pengadu juga tidak mengajukan alat bukti surat yang disahkan dimuka persidangan, maupun saksi dalam sidang DKPP sebagaimana diwajibkan Pasal 458 ayat (7) UU 7/2017 tentang Pemilu dan Pasal 31 ayat (5) Peraturan DKPP 3/2017 Jo Peraturan DKPP 2/2019,” katanya.
Ironisnya, Evi selaku teradu juga sama sekali belum pernah mendengar keterangan maupun pembelaannya. Sejatinya, itu diatur dalam Pasal 38 ayat (2), Pasal 458 ayat (8) UU 7/2017 tentang Pemilu dan Pasal 31 ayat (4) huruf c Peraturan DKPP 3/2017 Jo Peraturan DKPP 2/2019.
“Saya bertanya-tanya demi kepentingan siapa DKPP sampai menerobos prinsip hukum universal “audi et alteram partem”. Putusan DKPP 317/2019 melanggar 12 ketentuan prosedural yang diatur UU 7/2017 tentang Pemilu, Peraturan DKPP 3/2017 Jo Peraturan DKPP 2/2019. Setahu saya memang ada seorang Anggota DKPP menjadi Calon Anggota KPU Pengganti Antar Waktu. Semakin banyak Anggota KPU RI diberhentikan, semakin besar peluangnya dilantik,” tegas Anggota KPU Medan periode 2004-2009 itu.
Karena itu, putusan yang dilahirkan DKPP dinilai telah mencampuri kemandirian KPU dan Intervensi MK. Menurutnya, apa yang telah dilakukan KPU melalui surat 1937/2019 adalah untuk melaksanakan putusan PHPU MK.
Putusan PHPU Mahkamah Konstitusi harus diterima apa adanya sebagai penyelesaian perselisihan hasil Pemilu yang paling akhir.
“Kami menjalankannya dengan penuh integritas, profesional dan mandiri. Surat KPU 1937/2019 karena melaksanakan Putusan MK semestinya tidak perlu diuji lagi kesesuaiannya terhadap UU 7/2017 tentang Pemilu. MK saat memeriksa dan memutus PHPU sudah menguji setiap perkara menggunakan UU 7/2017 tentang Pemilu. KPU hanya menetapkan tindakan dan/atau keputusan untuk menjalankan perintah MK yang pemeriksaanya sudah berdasar UU 7/2017 tentang Pemilu,” pungkasnya. (*)
Reporter : Muhammad Akbar
Editor : Iqbal Hrp