PROSUMUT – Kebijakan Badan Pertanahan Nasional (BPN) Sumut terkait proses penghapusbukuan 2.216 hektare aset eks Hak Guna Usaha (HGU) PTPN 2 khususnya di Deli Serdang, Binjai, dan Langkat dinilai memicu konflik masyarakat. Kebijakan tersebut diminta harus segera dikaji ulang dan direvisi.
Wakil Ketua Kelompok Tani Sada Nioga Desa Lau Bekeri, Kutalimbaru, Deliserdang, Marlan Sinulingga mengatakan, kebijakan penghapusbukuan tersebut jelas sangat tidak bisa tidak terima.
“Kami sangat tidak setuju, dari mana pula uang kami membayarnya. Kalau dibayar ke PTPN 2, apa hak mereka? Sementara kami sudah menguasai sejak zaman Belanda. Lahan itu merupakan peninggalan nenek moyang kami, tapi kok disuruh pula membayar,” ujar Marlan bersama Yusuf Sembiring (Sekretaris Kelompok Tani Sada Nioga) dan Jaringan Pendamping Kebijakan Pembangunan (JPKP) Sumut, di Kantor Sekretariat DPW JPKP Sumut Komplek Griya Sakinah, Percut Seituan, baru-baru ini.
Kata Marlan, sesuai SK Gubernur Sumut Nomor 168 Tahun 1980, lahan yang diduduki kelompoknya seluas 112 hektare telah diberikan kepada masyarakat, bukan kepada yang lain.
“Apakah hukum itu berlaku surut, artinya ketika dikeluarkan SK Gubernur Sumut, lantas keluar kebijakan baru dari BPN Sumut maka tidak berlaku lagi? Jadi kalau masyarakat tidak mampu membayar bagaimana, apa diusir?” tuturnya.
“Mestinya, ada solusi yang pro kepada rakyat. Kalau kebijakan BPN Sumut tetap dipertahankan, maka menimbulkan konflik berkepanjangan yang tidak akan selesai. Terus terjadi bentrok fisik yang mengakibatkan korban luka dan korban jiwa,” sambungnya sembari mengatakan, di mana keberpihakan pemerintah kepada rakyat.
Dia menegaskan, apabila sudah hapus buku jangan dibebankan membayar lagi. Tapi, kebijakan BPN Sumut tetap harus membayar.
Apakah lahan yang dikuasai berada dalam 2.216 hektare? Marlan tidak mengetahui pasti. Sebab, sampai sekarang pemerintah pusat maupun daerah belum menjelaskan apa memang termasuk atau tidak.
Sementara, Ketua JPKP Sumut, Trieyanto Sitepu mengkritik kebijakan penghapusan buku lahan eks HGU PTPN 2 tersebut.
Berdasarkan Undang Undang Dasar (UUD) 1945 pasal 33 ayat 3, disebutkan bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara, dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Sedangkan UU Nomor 5/1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok Agrariapasal 2 menyatakan, atas dasar ketentuan Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam pasal 1, negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat.
Dari kedua aturan tersebut, dapat diartikan tidak ada istilah tanah milik negara. Namun, yang ada adalah tanah dikuasai oleh negara.
“Dikuasai dengan dimiliki itu berbeda. Jadi, kami menilai dari dua aturan tersebut bahwa tanah eks HGU adalah tanah milik negara bukan Menteri BUMN,” kata Trieyanto.
Lebih lanjut dia mengatakan, berdasarkan UU Nomor 1/2004 Tentang Perbendaharaan Negara pasal 49 ayat 2 yaitu barang milik negara harus dilengkapi dengan status kepemilikan.
Kemudian, pasal 57 ayat 1 dan 2, serta Peraturan Pemerintah Nomor 40/1996 Tentang HGU, bahwa pemegang HGU berkewajiban untuk menyerahkan kembali tanah yang diberikan dengan HGU kepada negara sudah HGU hapus.
Kemudian, menyerahkan sertifikat HGU yang sudah dihapus tersebut kepada kepala Kantor Pertanahan. Dari sini artinya, ketika PTPN II telah habis masa HGU-nya maka secara serta merta harus dikembalikan kepada negara sertifikatnya.
“Jadi, kalau dianggap sebagai aset negara maka tidak mungkin lagi tanah yang HGU-nya sudah dikembalikan kepada negara masih dianggap sebagai aset. Hal ini juga melihat dari pasal 33 ayat 3 UUD 1945. Kalau aset itu sudah ada status kepemilikan,” sebut Trieyanto.
Ia juga mengkritik mengapa dalam diktum ketiga dan keempat kebijakan Kepala BPN Nomor 42, 43, 44 Tahun 2002 serta SK Kepala BPN Nomor 10 Tahun 2004 yang menyatakan, menyerahkan pengaturan penguasaan, pemilikan, pemanfaatan penggunaan tanah HGU kepada gubernur dan selanjutnya diproses sesuai ketentuan berlaku untuk memperoleh izin pelepasan Menteri BUMN.
“Kalau dikatakan izin pelepasan aset dari Menteri BUMN, maka berarti terkesan mengenyampingkan pasal 33 ayat 3 UUD 1945. Bagaimana mungkin, misalnya saya menyerahkan HGU kepada si A selama 25 tahun. Lalu, sesudah berakhir maka dimintakan izin pelepasan aset kepada Menteri BUMN,” jabarnya.
Oleh karena itu, tegas Trieyanto, pihaknya dalam waktu dekat akan menyatakan sikap kepada Presiden RI untuk melakukan peninjauan kembali atas diktum ketiga dan keempat SK Kepala BPN Nomor 42, 43, 44 Tahun 2002 serta, SK Kepala BPN Nomor 10 Tahun 2004. Hal ini terkait adanya izin pelepasan aset dari Menteri BUMN atas tanah yang dikuasai negara.
“Berdasarkan UU Nomor 14/2014 Tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP), kita mau tahu mana saja batasan wilayah aset PTPN 2. Kita tidak tahu aset-aset milik perusahaan negara tersebut. Kita minta ini transparan atau disampaikan secara jelas. Kalau berdasarkan data nominatif, maka patut dipertanyakan nominatif atau masyarakat yang mana. Selain itu, lahan eks HGU seluas 2.216 hektare yang disampaikan kepala BPN Sumut telah mendapat persetujuan penghapusbukuan dari Menteri BUMN selaku pemegang saham. Begitu juga lahan eks HGU seluas 3.300 hektare akan ditata kembali,” cetusnya.
Dia menambahkan, negara harus adil dan pro kepada rakyat dalam persoalan lahan eks HGU PTPN 2.
“Kita khawatir akan timbul konflik berkepanjangan apabila kebijakan Kepala BPN Sumut tetap diberlakukan. Buktinya, sudah ada korban jiwa akibat konflik lahan tersebut, dan jangan sampai terjadi lagi kondisi seperti ini,” tandasnya.
Sebelumnya, BPN Sumut mengingatkan warga yang lahannya masuk dalam daftar nominatif penghapusbukuan lahan eks HGU PTPN 2 seluas 2.216 hektare, agar segera menunaikan kewajibannya membayar sesuai harga yang telah ditetapkan Kantor Jasa Penilai Publik (KJJP).
Ada tenggat empat bulan yang diberikan bagi warga yang ingin menguasai lahan bekas PTPN 2. Jika sudah dilakukan, maka KJJP akan mengirimkan surat kepada warga berupa pemberitahuan biaya wajib dibayarkan untuk penghapusbukuan.
“Kalau sejak Mei sampai Agustus nanti ternyata warga bersangkutan tidak juga membayarkan besaran biaya seperti yang disampaikan KJPP tersebut, maka itu sama artinya proses penghapusbukuan aset PTPN 2 tersebut dibatalkan. Sehingga, status tanahnya akan kembali seperti sebelumnya, yakni tanpa status sama nasibnya dengan aset eks HGU yang 3.300 hektare yang belum diproses,” kata Kakanwil BPN Sumut Bambang Priono.
Tenggat waktu yang diberikan, lanjut Bambang, sudah menjadi peraturan yang dikeluarkan oleh Menteri BUMN dalam proses penghapusbukan ini.
Maka dari itu, sebaiknya warga memanfaatkannya dan proses penghapusbukuan ini sama sekali tidak gratis.
Ditargetkan pada akhir April ini proses peghitungannya akan tuntas, sehingga pada Mei sudah dapat diketahui berapa biaya yang harus dibayarkan.
“Kalau sudah diketahui berapa biayanya, maka PTPN 2 tinggal menyurati warga yang masuk daftar nominatif yang telah mendapat izin dari Komisaris PTPN 2 selaku pemegang saham yaitu Menteri BUMN. Dalam rangka penghapusbukuan diwajibkan untuk membayar setiap bidang tanah yang besarnya sesuai dengan jumlah yang telah dinilai dan ditetapkan oleh KJPP,” ucapnya.
Kakanwil BPN juga mengingatkan kepada warga bahwa penyerahan aset dan pensertifikatannya itu hanya kepada yang masuk daftar nominatif yang telah dikeluarkan Tim B-Plus sebelumnya.
“Jadi tim tidak akan mencampuri kalau ternyata telah terjadi pemindahan hak atas tanah dimaksud. Sedangkan, untuk luas lahan 3.300 hektare sedang disusun dan diinventarisasi sesuai kebijakan yang diberikan Gubernur Sumatera Utara,” ujarnya.
Adapun lahan eks HGU seluas 2.216 hektare yang sudah ditetapkan daftar nominatifnya sebagian besar berada di Deliserdang dan sisanya di Langkat serta Binjai.
“Kalau Deliserdang ada di Patumbak, Mariendal, Selambo, Saentis, Sena, Helvetia, Sampali, Beringin, Tunggurono. Wah! Kalau untuk Langkat saya lupa dan harus bukan data dulu,” ucapnya.
Bambang menjelaskan sebagian dari 2.216 hektare, seluas 200 hektare luas lahan eks HGU yang telah selesai proses KJPP-nya, maka selanjutnya sudah dapat dilaksanakan proses pembayarannya pada Maret lalu.
“Jadi yang dibayarkan warga yang masuk daftar nominatif penghapusbukuan itu tergantung berapa besaran luas tanah yang dikuasai dikalikan nilai harga tanah yang dikeluarkan oleh KJPP selaku tim independen,” ujarnya.
Ia menambahkan, setelah warga mengetahui besaran kewajiban yang harus dibayarkan kepada negara dan telah memenuhi kewajibannya sebagaimana isi izin penghapusbukuan masyarakat telah membayar kepada PTPN 2.
“Maka, selanjutnya pihak PTPN 2 akan mengeluarkan surat pelepasan hak dan penghapusbukuan aset secara resmi. Dan warga selanjutnya sudah dapat mengajukan permohonan pembuatan sertifikat tanah ke Kantor BPN,” jelasnya.(*)