Oleh: Batara L. Tobing (Kolumnis Prosumut.com)
PROSUMUT – Menjadi menarik menyaksikan perdebatan seru dan panas di Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi XIII DPR RI berkaitan isu lingkungan hidup dan sosial menyangkut eksistensi PT Toba Pulp Lestari (TPL) di ruang sidang DPR RI Jakarta beberapa waktu lali.
Bukan soal substansi rapat tentang keberatan masyarakat Toba atas kehadiran TPL yang dianggap menghadirkan berbagai masalah lingkungan hidup dan sosial di Tapanuli Raya, melainkan beda pendapat diantara para anggota legislatif yang berbeda persepsi, berbeda pandangan yang mencerminkan arah keberpihakan diantara kedua legislator.
Di satu pihak, Mafirion dari fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) utusan Dapil Indragiri Hilir Riau yang juga mantan jurnalis harian Kompas.
Dimana sejak PT Indo Rayon belum berubah wajah menjadi PT TPL, dia sudah melakukan riset jurnalistik intens, memberitakan berbagai isu lingkungan hidup dan sosial sebagai dampak kehadiran PT Indorayon di bumi Tapanuli Raya, begitu gencar membela kepentingan rakyat Sumatera Utara yang berteriak teriak menolak kehadiran PT TPL, walaupun Mafirion bukan berasal dari Dapil Sumut.
Di lain pihak, Maruli Siahaan sebagai legislator yang berasal dari dapil Sumatera Utara justru berbeda pendapat dengan sesama Komisi XIII lainnya, terkesan seolah membela kepentingan PT TPL yang dipersoalkan para pendemo masyarakat Sumut, LSM, gereja dan para pegiat lingkungan hidup.
Maruli, legislator asal Sumut begitu kencang bersuara membela PT TPL yang sedang digugat oleh masyarakat justru membuat rakyat Sumut uring uringan dalam posisi dimana rakyat Sumut sedang sensitif soal perambahan hutan disaat musibah banjir dan longsor bertubi tubi menimpa rakyat Sumatera Utara, legislator ini begitu berani tampil beda mengambil sikap berlawanan dengan para konstituennya di dapil Sumatera Utara.
Paradoks diantara kedua legislator, dimana Mafirion asal dapil Riau dianggap telah memperjuangkan aspirasi rakyat dari Dapil Sumatera Utara, berbeda dengan Maruli yang dianggap berani ‘pasang badan’ untuk berbeda aspirasi dengan rakyat di dapil-nya yang menginginkan penuturan TPL dari bumi Tapanuli Raya.
Menjadi politikus itu memang tidak mudah, mereka harus cerdik menilai situasi.
Bahasa diklat kepemimpinannya disebut ‘diagnostic reading’, membaca situasi politik agar para politikus dapat eksis melaksanakan misinya sebagai legislator yang mewakili rakyat, sekaligus menjaga pamornya sebagai politikus.
Politikus wajib untuk dapat memprediksi dan menilai mana situasi yang dapat melestarikan karier mereka, mana pula isu yang dapat menuai hujatan bagi mereka sebagai politikus maupun sebagai pribadi.
Teori politiknya; ‘vovuli vox, vovuli dei’, suara rakyat adalah suara Tuhan, tabu dilawan oleh para legislator.
Itulah sebabnya para politikus piawai begitu getol mengambil hati rakyat walau mungkin bertentangan dengan fitrah dan hati nurani sang politikus secara pribadi.
Karena di negara berazas demokrasi, menjadi pakem yang tidak bisa dibantah bahwa kedaulatan ada ditangan rakyat.
Walau karir sebagai politikus dianggap sebagai karir yang buruk bagi sebagian orang, namun tidak dapat dipungkiri bahwa kesejahteraan rakyat secara luas bergantung kepada mereka pula, antara lain dengan peran sebagai legislator yang menyuarakan aspirasi rakyat yang memilihnya.
Itulah sebabnya para legislator wajib mengasah hati nurani untuk menilai sesuatu peristiwa di masyarakat, karena hati nurani yang jujur tidak dapat berbohong dihadapan rakyat. (*)

