PROSUMUT – Mantan Komisioner KPU RI, Evi Novida Ginting mendaftarkan gugatannya ke PTUN Jakarta, sebagai bentuk perlawanan atas telah diberhentikan, Jum’at 17 April 2020. Ia selaku penggugat, menggugat Presiden RI Joko Widodo sesuai gugatan nomor 82/G/2020/PTUN.JKT.
Saat melayangkan gugagatannya, Evi tepat 17 tahun mengabdi sebagai penyelenggara pemilu. “Saya merasa bangga dan terhormat menjadi penyelenggara Pemilu paling rumit dan besar dalam sejarah Republik Indonesia yang sukses menghasilkan Pemimpin NKRI untuk lima tahun kedepan,” ujar Evi dalam keterangan tertulis yang diterima prosumut.com, Minggu 19 April 2020.
Namun, pengabdian yang dilakukan Ketua KPU Medan periode 2009-2013 itu berbuah pahit. Presiden Jokowi memberhentikannya melalui Keputusan Presiden RI Nomor 34/P Tahun 2020 pada 23 Maret 2020.
Evi melayangkan gugatannya bersama 7 orang kuasa hukum yang menamakan diri mereka menjadi Tim Advokasi Penegak Kehormatan Penyelenggara Pemilu. Dalam gugatannya, mereka meminta agar PTUN menyatakan batal atau tidak sah Kepres yang telah memberhentikan Evi secara tidak hormat sebagai Anggota KPU RI periode 2017-2022.
Mewajibkan Presiden Jokowi untuk mencabut Kepres yang telah dikeluarkan. Terakhir, mewajibkan Presiden Jokowi untuk merehabilitasi nama baik dan memulihkan kedudukan Evi sebagai Anggota KPU RI.
“Saya meminta PTUN membatalkan Keputusan Presiden karena keputusan tersebut didasarkan pada Putusan DKPP No 317/2019 yang mengandung “kekurangan yuridis essential yang sempurna” dan “bertabur cacat yuridis” yang tidak bisa ditoleransi dari segi apapun. Meskipun yang mengandung kekurangan yuridis essential Putusan DKPP No 317/2019, sayangnya menurut Sistem Hukum Indonesia, yang menanggung akibatnya adalah Keputusan Presiden 34/P Tahun 2020, yang harus dijadikan objek gugatan dan dimintakan pembatalan kepada Pengadilan,” ujarnya.
“Kekurangan yuridis yang essential dari Putusan DKPP 317/2019 karena mengkhianati tujuan dari Putusan DKPP yaitu untuk menyelesaikan perselisihan etika antara Pengadu dan Teradu sebagaimana diatur Pasal 155 ayat (2) UU 7/2017 tentang Pemilu. Serta karena DKPP mengkhianati prinsip keramat penyelesaian perselisihan yaitu asas “audi et alteram partem” atau kewajiban menggelar sidang pemeriksaan perselisihan demi mendengar semua pihak yang berselisih dan berkepentingan,” tambahnya.
“Prinsip ‘audi et alteram partem’ sudah dipraktikan sejak zaman kuno dan berlaku sebagai ‘general principle of law’ atau prinsip hukum yang berlaku universal melampui batas wilayah dan batasan waktu. Penerapan prinsip audi et alteram partem menjadi penjaga agar pemeriksa/pengadil tidak bertindak sewenang-wenang menetapkan putusan tanpa adanya pengaduan atau tanpa ada pihak yang dirugikan,” pungkasnya. (*)
Reporter : Muhammad Akbar
Editor : Iqbal Hrp