PROSUMUT – Anggota Komisi X DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan, dr Sofyan Tan, mendorong transparansi anggaran dan kebijakan pemerintah sebagai kunci untuk mewujudkan good governance.
Pernyataan ini disampaikannya dalam kegiatan Bimbingan Teknis (Bimtek) Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) bertema ‘Pengelolaan Informasi Publik di Kota Medan’, yang merupakan hasil kerja sama antara Komisi X DPR RI dan BRIN di Hotel Four Points, Medan, Senin 13 Oktober 2025.
Ia menggarisbawahi bahwa pengelolaan informasi publik merupakan produk-produk penting yang wajib diketahui oleh masyarakat luas.
Contoh paling sederhana menyangkut tentang pengutipan biaya atau retribusi. “Bolehkah pemerintah memungut tanpa ada aturan lainnya? Ya harus ada peraturan daerahnya. Peraturan daerahnya itu dibentuk seperti apa? Kapan dilaksanakan? Kemudian isinya apa? Ketentuannya apa,” tanya Sofyan Tan.
Ia menekankan bahwa masyarakat harus mengetahui dasar pungutan dan bagaimana uang yang dipungut tersebut digunakan, sebelum pungutan itu dilaksanakan.
Dasar hukum kewajiban ini tertuang jelas dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP). Tujuan utama KIP adalah agar terbentuk suatu pemerintahan yang benar atau good governance.
Keterbukaan penggunaan anggaran menjadi indikator penting dalam menilai kinerja kepala daerah. Sofyan Tan menyoroti kontradiksi yang sering terjadi.
“Sering kita lihat ya, misalnya jalan di depan toko atau tempat orang yang jualan gitu, jalannya rusak. Sedangkan semua toko di sana bayar PBB.
Harusnya PBB yang dibayar karena ada aturan mainnya. Nah uang yang diambil berupa pajak daripada masyarakat, maka itu digunakan untuk memperbaiki jalan dan fasilitas,” ungkap Sofyan Tan.
Ia menegaskan bahwa jika uang pajak kendaraan senilai triliunan dikutip, namun perbaikan jalan di bawah angka tersebut, maka ada indikasi masalah.
Selain transparansi anggaran, KIP juga bertujuan memenuhi hak masyarakat akan informasi dan meningkatkan kualitas partisipasi publik.
Politisi PDI Perjuangan ini melanjutkan dengan mengetahui peraturannya, begitu juga dengan penggunaan keuangannya, maka semakin banyak orang melek dan sekaligus bisa mengawasi.
Menurut dia, semakin rendah kualitas partisipasi masyarakat, maka semakin besar peluang kesewenang-wenangan dan korupsi.
Karenanya, keterbukaan informasi juga menjadi garda terdepan melawan praktik birokrasi yang merugikan.
Sofyan Tan mengingatkan, birokrasi itu paling takut untuk mengumumkan berbagai kebijakan secara transparan.
“Jika informasi tidak dipublikasi, risiko munculnya ‘peraturan siluman’ sangat tinggi, di mana biaya pengurusan izin menjadi tinggi karena ketidaktahuan masyarakat,” imbuhnya.
Dia menekankan bahwa pelayanan publik adalah hak, bukan belas kasihan. Sebab, setiap warga negara telah membayar pajak.
“Masyarakat bukan mengemis untuk dilayani, tetapi masyarakat memang berhak menerima pelayanan karena mereka bayar pajak. Uang yang didapat itu untuk mengelola berbagai fasilitas yang ada,” pungkasnya.
Sementara itu, Pranata Humas Ahli Pertama BRIN, Fadli Sabyli, memberikan panduan mengenai siklus pengelolaan informasi.
“Informasi adalah segala sesuatu yang bermakna. Sedangkan informasi publik ialah segala informasi yang dihasilkan, disimpan, dikelola, dikirim, dan/atau diterima oleh suatu badan publik,” ungkapnya. (*)
Editor: M Idris
