PROSUMUT – Salah satu makna penting Kongres V Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) di Bali adalah posisi Joko Widodo (Jokowi). Kader berlambang Banteng Moncong Putih ini kini secara resmi menjadi Presiden Indonesia terpilih 2019 – 2024.
Namun, sebagai presiden, ia tetaplah kader partai politik yang dipimpin seorang Megawati Soekarnoputri. Kongres V yang baru saja usai itulah yang mengingatkan sekaligus mengukuhkannya.
Melalui pidato pembukaan kongres, Ketua Umum PDIP Megawati meminta agar kadernya tidak hanya empat orang yang masuk kabinet, namun juga harus paling banyak.
“Ini di dalam kongres partai, Bapak Presiden. Saya meminta dengan hormat bahwa PDIP akan masuk dalam kabinet dengan jumlah menteri harus terbanyak,” kata Mega.
“Itu namanya baru pukulan. Deb!” sambungnya.
“Jangan nanti, ‘Ibu Mega, saya kira karena PDIP sudah banyak kemenangan sudah ada di DPR, nanti saya kasih cuma empat’. Wee… emoh. Tidak mau. Tidak mau. Tidak mau. Orang yang nggak dapet aja minta,” kata Megawati yang diikuti oleh seruan hadirin tanda menyetujui.
Permintaan jatah menteri secara terbuka oleh Ketua Umum PDIP membuka ruang penafsiran yang luas. Megawati seperti mengingatkan bahwa partai politik pemenang Pemilu Legislatif 2019 adalah partainya.
Artinya, kekuatan legislatif sudah berada di tangan para politisi PDIP. Semua hal yang berkaitan dengan produk perundang-undangan DPR akan lebih mudah prosesnya.
Permintaan secara terbuka itu juga menegaskan posisi sebagai partai politik pemenang Pemilu. PDIP berhak mendapat kesempatan paling banyak ikut dalam pemerintahan.
Penegasan posisi ini penting mengingat sejumlah parpol pendukung koalisi Jokowi-Ma’ruf sudah gencar melontarkan wacana jatah menteri pula.
Di sisi lain, permintaan scara terbuka itu juga merupakan tekanan alias political pressure untuk seorang Jokowi. Bahwa kemenangan Pilpres 2019 ini tidak lain dan tidak bukan karena PDIP mendukung sepenuhnya pasangan Jokowi-Ma’ruf Amin.
Tanpa itu semua, kemenangan mustahil terjadi.
Dalam bacaan yang lebih dalam, dapat ditafsirkan bahwa, menurut PDIP, seorang Jokowi tidak akan menjadi presiden tanpa restu ketua umumnya, yaitu Megawati Soekarnoputri.
Restu Megawati itulah prima causa (penyebab utama) yang harus diingat seorang kader bernama Jokowi. Prima causa itulah yang melegitimasi permintaan jatah menteri secara terbuka di ruang publik.
Betulkah PDIP yang menjadi penyebab dominan kemenangan dua kali berturut-turut pemilihan presiden? Rekam jejak sejarah menunjukkan sebaliknya.
Pilpres 2004 dan 2009, PDI-P gagal mengusung ketua umumnya menjadi pimpinan lembaga eksekutif di republik ini. Strategi berpasangan dengan tokoh NU (Hasyim Muzadi) dan tokoh militer (Prabowo Subianto) di dua pemilu berbeda kandas.
Justru setelah Jokowi masuk ke dalam kancah pemilihan RI-1, partai berlambang Banteng ini moncer di kalangan pemilih suara. Faktor Jokowi lebih dominan menjadi penentu pilihan voters.
Ibaratnya, di parpol mana pun Jokowi berada, para pemilik suara akan memilih parpol tersebut. Kondisi ini yang seharusnya diingat pengurus PDIP bahwa para pemilih Jokowi yang bukan kader bahkan bukan simpatisan PDIP signifikan sebagai penentu kemenangan Jokowi-Amin.
Menempatkan restu Megawati sebagai prima causa mengakibatkan Jokowi berada dalam posisi utang budi. Dalam bahasa lain, Jokowi tergadaikan kebebasannya. Padahal sejumlah agenda penting, sebagaimana termaktub dalam pidato Visi Indonesia, sudah menanti.
Untuk menjamin terlaksananya visi tersebut, tentunya faktor kemampuan bekerja beserta pengalamannya haruslah menjadi faktor penentu penempatan seseorang sebagai pembantu presiden. Sebaliknya, jika faktor jatah menteri parpol sebagai hal utama, maka penempatannya sebagai pembantu presiden akan selalu menemui permakluman.
Wacana Tandingan dari Masyarakat
Agar kebebasan seorang Jokowi sebagai presiden pilihan rakyat tidak tergadaikan, maka masyarakat sendiri harus ikut bersuara. Penilaian rekam jejak menteri berasal dari parpol dapat dilakukan dan diukur.
Bersama media, masyarakat dapat menggali data berbagai peristiwa dan keputusan para pembantu presiden tersebut selama lima tahun. Wacana penilaian pembantu presiden tersebut dapat menjadi wacana tandingan permintaan jatah menteri dari parpol mana pun.
Wacana tandingan ini juga mengingatkan kembali kepada para pengurus parpol bahwa rakyat sebagai pemilik kedaulatan berhak dan wajib diurus kehidupannya oleh para pembantu presiden yang terbaik di bidangnya.
Melalui wacana tandingan ini, maka masyarakat menilai siapa menteri yang layak diganti dan siapa yang wajib dipertahankan. Meskipun hak prerogatif menjadi alasan kebebasan seorang pemimpin pemerintahan menentukan siapa yang akan menjadi pembantunya, namun peristiwa minta jatah menteri pada Kongres PDIP di Bali itu membuyarkan konvensi hak prerogatif presiden selama ini.
Sudah seharusnya masyarakat ikut ambil bagian dalam penentuan menteri-menteri kabinet Jokowi-Amin mendatang. Setidaknya, jika bukan sosok, maka masyarakat dapat memberi ukuran, minimal kriteria sebagai batasan (benchmark).
Masyarakat juga dapat “mengamankan” posisi menteri-menteri yang dinilai sukses bekerja agar tidak disingkirkan menteri usulan parpol.
Dengan masyarakat ikut “cawe-cawe”, Jokowi sebagai presiden pilihan masyarakat akan kembali ke posisinya sebagai pimpinan republik ini yang kebebasannya tergadai kepada pemilihnya, bukan kepada partai politik mana pun. (*)