PROSUMUT – Penelitian terbaru dari Amerika Serikat (AS) menunjukkan bahwa orang yang berusia di atas 65 tahun dan memiliki pandangan politik yang konservatif memiliki kecenderungan lebih tinggi untuk menyebarkan kabar bohong atau hoax lewat media sosial.
Namun, tidak halnya di Indonesia. Satu studi yang dipresentasikan di Asian Network for Public Opinion Research (ANPOR) Annual Conference pada November 2018 lalu menunjukkan hal berbeda.
Dalam penelitian itu disasar 480 responden di seluruh kota dan kabupaten di Jawa Barat, provinsi dengan penduduk terbanyak di Indonesia, tentang kecenderungan mereka dalam menyebarkan hoaks.
Survei menemukan faktor umur, demikian juga tingkat pendidikan, dan jenis kelamin tidak berpengaruh terhadap kecenderungan orang menyebarkan hoax.
Orang yang cenderung menyebarkan hoax adalah orang yang lebih sering dan lebih lama durasi penggunaan internetnya. Ini dibuktikan dari pengeluaran mereka yang cukup tinggi untuk internet.
Semakin tinggi pengeluaran internet, semakin tinggi kecenderungan menyebarkan hoaks
Temuan yang paling menarik dalam survei membuktikan bahwa faktor demografis seperti umur, jenis kelamin dan tingkat pendidikan tidak mempengaruhi kecenderungan orang dalam menyebarkan hoax.
Survei menunjukkan bahwa setiap kategori umur mempunyai kecenderungan yang hampir sama dalam menyebarkan hoax.
Artinya baik yang muda maupun tua, responden yang ditemui mempunyai tingkat kecenderungan yang sama dalam menyebarkan hoax.
Dengan begitu, hasil riset tidak bisa menyimpulkan adanya hubungan antara usia dan kecenderungan menyebarkan hoax.
Terlihat dalam grafik di atas, hal ini juga berlaku pada faktor demografis yang lain yaitu jenis kelamin dan tingkat pendidikan.
Satu-satunya faktor demografis yang mempengaruhi kecenderungan seseorang untuk menyebarkan hoaks adalah besaran pengeluaran untuk biaya internet.
Semakin tinggi tingkat pengeluaran internet seseorang maka semakin meningkatnya kecenderungan orang tersebut dalam menyebarkan hoaks.
Penelitian ini juga mencatat setiap kenaikan Rp 50.000 per bulan untuk internet, seorang semakin rentan menyebarkan hoax.
Selain faktor demografis, semakin tinggi kepercayaan seseorang terhadap konspirasi juga meningkatkan kecenderungan untuk menyebarkan hoax.
Kepercayaan terhadap konspirasi ini didefinisikan sebagai ‘asumsi tidak perlu tentang adanya konspirasi ketika ada penjelasan lain yang lebih memungkinkan’.
Contohnya adalah kepercayaan orang yang menganggap calon presiden petahana Joko “Jokowi” Widodo sebagai antek Cina yang ingin menjajah Indonesia dengan membawa 10 juta tenaga kerja asing Cina.
Orang yang merasa dirinya pemimpin yang berpengaruh (opinion leader) dalam sebuah kelompok juga memperbesar kecenderungannya untuk menyebarkan hoax.
Faktor agama juga berpengaruh. Survei juga menunjukkan bahwa mereka yang rendah kepercayaan agamanya akan lebih rentan menyebarkan hoax.
Namun, temuan ini punya kemungkinan bias-di Indonesia, orang cenderung menjawab secara positif ketika ditanyakan soal agamanya.
Selain itu, survei mencatat bahwa mereka yang tidak percaya diri dengan kecakapannya bermedia sosial mempunyai kecenderungan lebih tinggi dalam menyebarkan hoax.
Seseorang dianggap cakap dalam bermedia sosial ketika dirinya bukan hanya konsumen konten tapi juga terampil dalam produksi konten.
Kepercayaan diri bermedia sosial ini digambarkan tidak berhubungan dengan tingkat pengeluaran untuk internet.
Ini hasil studi ilmiah, pas kah dengan perilaku lingkungan kita? Silakan simpulkan sendiri! (*)