PROSUMUT – Manajemen atau kontraktor Apartemen De Glass Residence di Jalan Gelas, Kelurahan Sei Putih Tengah, Medan Petisah, diminta menyelesaikan konfliknya dengan warga sekitar yang keberatan atau menolak. Sebab, hingga kini warga tak setuju akan berdirinya apartemen setinggi 26 lantai itu.
Kepala Dinas Perkim-PR Medan, Benny Iskandar mengatakan secara peruntukkan dari Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2015 Tentang Rencana Daerah Tata Ruang (RDTR) Kota Medan Tahun 2015-2035 (Perda RDTR), proyek apartemen itu sudah sesuai. Artinya, tidak ada poin-poin yang dilanggar di dalam perda tersebut.
“Permasalahan pembangunan apartemen tersebut sesungguhnya bukan menyalahi Perda RDTR melainkan persetujuan warga. Sebagian warga yang tinggal di sekitar lokasi meminta izin pembangunan apartemen itu dibatalkan karena dianggap cacat hukum. Alasannya, warga yang keberatan tersebut tidak pernah setuju dan menandatangani dibangunnya apartemen itu,” ujar Benny akhir pekan lalu.
Diutarakan Benny, pihaknya sudah meminta klarifikasi ke camat dan lurah setempat. Hasilnya, memang sebagian warga yang keberatan tidak ada meneken.
Akan tetapi, asumsinya karena sudah diteken oleh lurah atau camat berarti sudah benar warga tidak ada yang keberatan lagi sehingga keluarlah perizinan pembangunan apartemen tersebut.
“Saat ini proyek tersebut telah stanvas dan tidak ada pembangunan. Pihak pengembang atau manajemen Apartemen De Glass diminta untuk menyelesaikan masalahnya kepada warga yang keberatan barulah dilanjutkan proyek pembangunan,” sebut Benny sembari mengaku, sudah ada warga mengadu ke pihaknya yang disampaikan secara tertulis melalui surat.
Benny menjelaskan, apartemen itu memang akan dibangun di kawasan perumahan kepadatan tinggi atau Zona R1. Di dalam Perda RDTR, hanya dibolehkan membangun sampai 4 lantai. Namun, aturan tersebut untuk bangunan standar atau tunggal seperti rumah pada umumnya.
“Perlu diingat bahwa dalam Perda RDTR memiliki semacam ‘insentif’ untuk bangunan. Ada ketentuan tata bangunan khusus untuk beberapa jenis bangunan, misalnya kantor pemerintahan dan rumah susun (rusun) atau apartemen,” tuturnya.
“Jadi, karena Medan ini sudah menjadi kota metropolitan maka kita mendorong pertumbuhan bangunan secara vertikal. Hal ini ditambah lagi lantaran lahan sangat terbatas. Inilah yang dimaksud dengan insentif, yang salah satunya diberikan untuk bangunan rusun atau apartemen,” sambungnya
Disebutkan dia, untuk rusun/apartemen di dalam Perda RDTR memiliki aturan Koefisien Lantai Bangunan (KLB). Artinya, jumlah luas seluruh lantai dibagi luas persil itulah KLB.
Misalnya, luas lantai bangunan 10.000 meter persegi dan tanahnya 1.000 meter persegi maka KLB 10. Oleh karena itu, tidak memakai aturan tinggi bangunan masksimal lagi lantaran telah diterapkan KLB.
“Namun demikian, ada persyaratannya karena di kawasan Jalan Gelas relatif lingkungan perumahan atau pemukiman maka untuk rusun/apartemen harus ada izin atau persetujuan warga sekitar lokasi. Sebab, ketika pengurusan permohonan Surat IMB dilampirkan persetujuan warga itu dan juga dokumen lain pendukungnya,” sebutnya.
Ia menyatakan, aturan hanya dibolehkan membangun 4 lantai untuk bangunan standar atau rumah biasa terdapat pada poin 9 Lampiran X tentang zonasi Perda RDTR. Akan tetapi, Lampiran X ini memiliki 18 poin bukan hanya 9 poin.
“Kalau hanya sampai pada poin 9 betul memang boleh cuma 4 lantai, tapi untuk rumah biasa. Namun, ternyata ada poin ke 12 yang menyebutkan bahwa rusun/apartemen kalau memang melebihi ini tetapi sepanjang tidak melebihi KLB tentu itu boleh sebagai contoh Rusun Sukaramai,” papar Benny.
Dia menambahkan, pihaknya mengestimasi jumlah penduduk di Medan ini hingga 4 jutaan. Akan tetapi dengan catatan, kalau hanya mengandalkan lahan yang ada saat ini dikurangi 20 persen ruang terbuka hijau, 20 persen kawasan industri/perdagangan/fasilitas, 15 persen infrastruktur jalan, maka tinggal 45 persen dibangun untuk rumah.
“Angka 45 persen dari luas wilayah kota medan ini untuk dibangun rumah dan menampung penduduk dengan estimasi 4 jutaan, maka tidak akan cukup. Oleh karenanya, harus didorong untuk membangun tempat tinggal secara vertikal yaitu rusun maupun apartemen,” kata Benny.
“Seperti di Jakarta dan Surabaya, bagaimana mengantisipasi sempitnya lahan untuk tempat tinggal maka mendorong pertumbuhan bangunan tinggi ke atas (vertikal) bukan ke samping (horizontal) yaitu rusun dan apartemen, bukan rumah kos,” tandasnya.
Sebelumnya, kuasa hukum warga yang keberatan, Fernando Sitompul mengatakan berdasarkan Perda RDTR Lampiran X tentang zonasi terdapat 18 poin.
Khusus poin 9 terkait zona perumahan kepadatan tinggi atau R1 memiliki ketentuan yakni Koefisien Dasar Bangunan (KDB) 80 persen, Koefisien Lantai Bangunan (KLB) 3,2 dan Koefisien Dasar Hijau (KDH) 15 persen, dengan ketinggian bangunan maksimum 4 lantai/18 meter.
“Apartemen De Glass berada di kawasan Kelurahan Sei Putih Tengah yang masuk dalam zona R1. Oleh sebab itu, sesuai Perda RDTR tersebut maka pembangunan apartemen tidak diperbolehkan dalam Zona R1 karena ketinggian bangunan yang akan dibangun mencapai 26 lantai atau lebih dari 4 lantai,” ujar Fernando.
Karenanya, sambung Fernando, warga jelas menolak dan keberatan. Sebab, banyak dampak negatif yang nantinya ditimbulkan dari adanya pembangunan apartemen tersebut. Selain telah merusak dinding rumah, warga khawatir apartemen tersebut akan menguras persediaan air tanah, menimbulkan dampak sosial, dan membuat Jalan Gelas semakin macet.
“Pertama, masalah air. Kebutuhan air apartemen dan masyarakat bisa jadi rebutan. Kedua, adanya apartemen yang dekat dengan permukiman seperti itu bisa menimbulkan budaya hedonis. Selain itu juga menambah tingkat kemacetan di Jalan Gelas yang sebelum ada apartemen saja sudah macet. Lalu, pada saat pembangunan juga, kan, materialnya berbahaya kalau jatuh-jatuh, debu juga,” ungkapnya.
Menurut Fernando, berbagai upaya sudah dilakukan pihak pengembang agar bisa membangun apartemen itu, terutama untuk mendapat persetujuan warga.
Bahkan, sempat terjadi konflik antarwarga yang menghuni di sekitar lokasi apartemen. Oleh karenanya, ia menduga konflik horizontal ini sengaja dibuat pengembang agar memecah persatuan warga.
“Ada beberapa aspek alasan penolakan apartemen De Glass, diantaranya potensi dan pelanggaran dampak lingkungan sosial. Kemudian, aspek indikasi pelanggaran perizinan. Pelanggaran dampak sosial yaitu kenyamanan dan ketenangan warga terganggu, sedangkan perizinan terindikasi cacat hukum karena warga sampai sekarang menolak dan tidak ada meneken. Akan tetapi, faktanya izin telah keluar dan ini yang kami pertanyakan,” tukasnya.(*)