PROSUMUT – Parsadaan Pomparan Toga Sinaga (PPTSB) Indonesia dan Dewan Pimpinan Pusat Pemuda Marga Silima (PMS) Indonesia menyoroti implementasi nilai keadilan sosial dan arah tren dunia pendidikan global.
Hal ini sebagai agenda prioritas pada 2 organisasi kemasyarakatan berbasis kesukuan tersebut.
Demikian disampaikan Dr Rudi Salam Sinaga bere Sembiring, Dewan Pakar PPTSB Indonesia yang juga selaku Ketua Bidang Pendidikan dan Kemahasiswaan Dewan Pimpinan Pusat Pemuda Marga Silima Indonesia.
Rudi mengungkapkan, PPTSB dan Pemuda Marga Silima Indonesia memiliki keanggotaan lebih dari 1,5 juta jiwa di Sumut. Bahkan, dua organisasi ini terus bergerak untuk memvalidasi jumlah keanggotaan secara digital dan manual pada area provinsi lainnya secara nasional.
“Kualitas generasi penerus marga atau suku, selain bergantung pada pendidikan internal keluarga turut dipengaruhi oleh pendidikan formal yang didapatkan di lembaga pendidikan nasional maupun internasional.
Kondisi ekonomi setiap keluarga yang berbeda beda, membuat kedua ormas ini merespon untuk berkolaborasi dengan beberapa institusi lembaga pendidikan swasta nasional dan internasional. Terlebih, yang memberikan tarif biaya pendidikan terjangkau serta muatan kurikulum kearifan lokal.
“Pendidikan untuk membentuk karakter kepribadian bermutu tidak selalu diidentikkan dengan ketersediaan teknologi yang super canggih dan ruangan kelas bertaraf VIP. Hal yang terpenting adalah penerus kami harus mampu berpengetahuan luas dan dapat membedakan hal yang benar dan salah,” ujarnya dalam keterangan tertulis yang diterima, Jumat 23 Desember 2022.
Selain itu, mampu bersuara untuk hal yang benar dan memiliki rasa malu melakukan hal yang salah.
Banyak tokoh filsuf terkenal di masa lalu tidak tumbuh dari suasana modern dengan kecanggihan teknologi. Ini hanya soal kemauan diri seseorang dan improvisasi ilmu yang tinggi di forum sana sini.
“Tantangan dari ancaman bahaya narkoba, keuangan dan rasa malas di masa lalu dan masa kini, sebagai tantangan yang sama bagi generasi penerus di setiap masa,” kata Rudi.
Lebih lanjut dia menyampaikan, ormas kesukuan ini tidak akan menghindari modernisasi. Namun, perlu melakukan filterisasi terhadap dampak modernisasi di berbagai bidang kehidupan.
“Dampak modernisasi terhadap pergeseran budaya, perilaku dan pola pikir bagi generasi penerus menjadi prioritas perhatian kami. Karena, kami ada dan tumbuh berkembang hanya untuk memelihara generasi penerus dan untuk mendukung program negara,” ungkapnya.
Dalam pandangan Rudi, dampak yang sangat besar atas perubahan perilaku generasi muda menuruti berasal dari pengaruh konten di media sosial yang ada di dalam handphone atau smartphone.
Langkah pertama yaitu membatasi generasi muda di internal kamu dalam penggunaan smartphone sejak dari usia anak-anak hingga usia dewasa.
“Usia produktif untuk belajar harus dimanfaatkan secara maksimal. Permainan tradisional kami kampanyekan sebagai sarana bermain memupuk ketangkasan dan kebersamaan.
Usaha mempersiapkan generasi muda belajar berbahasa asing seperti Inggris, Rusia, Mandarin dan Arab sebagai suplemen pendukung,” pungkasnya.
Terpisah, pengamat sosial budaya dari Universitas Sumatera Utara Jekmen Sinulingga memberikan pendapat bahwa nilai, norma setiap suku menjadi benteng dan menjadi penangkal dari pengaruh global, walau sulit terbendung. Local wisdoms setiap suku menjadi filter untuk mempertahankan diri pada era global.
“Sampai saat ini, organisasi bernuansa suku/etnisitas tetap berusaha mempertahankan dirinya dan memang masih mampu menjawab seluruh kebutuhan dan tantangannya,” ujar Jekmen.
Dr Robert Tua Siregar pengurus Batak Center Sumut dan juga pengurus Parsadaan Pomparan Raja Lontung Sumut mengutarakan, organisasi kesukuan yang berisi potensi generasi muda, sangat berperan kepada keberlanjutan pembangunan karakter dan pelestarian budaya yang berbasis suku.
“Untuk itu, penguatan kelembagaan organisasi kesukuan sangat signifikan dalam mengahadapi era global hari ini,” tuturnya.
Pandangan lain yang memiliki persepsi sama mengenai peran ormas kesukuan, disampaikan oleh pakar sosial politik Universitas Negeri Semarang (Unnes) Dr Puji Lestari.
Kata Puji, Indonesia adalah negara multikultural. Identitas kesukuan perlu menguat sebagai dasar bernegara melalui organisasi-organisasi masyarakat.
Misalnya, masyarakat adat, komunitas masyarakat adat, dan kelompok kesukuan. Apalagi saat ini, era global membawa masyarakat dalam arena terbuka yg tanpa sekat.
“Satu hal yang mengancam adalah menghilangnya identitas kelompok yang seharusnya memperkaya budaya, karakter dan kearifan lokal,” jelas Puji,
Menurut Puji, banyak putra-putri Sumatera Utara yang memiliki gagasan dan kemauan berbuat untuk kemajuan masa depan generasi muda yang menjunjung tinggi adab nilai budaya.
“Salah satu tokoh yang konsen, energik dan visioner adalah Dr Rudi Salam Sinaga. Rudi memiliki pergaulan jejaring di berbagai sektor yang sangat luas di Indonesia hingga luar negeri,” ujarnya. (*)
Editor: Rayyan Tarigan

previous post