Oleh: Batara L. Tobing (Kolumnis Prosumut.com)
PROSUMUT – Mungkin Presiden Prabowo cukup gregetan dengan kontribusi dividen BUMN kepada negara yang selama ini dianggap tidak cukup signifikan presentase yield yang dihasilkannya dibandingkan dengan total asset BUMN yang mencerminkan performa BUMN kurang maksimal, sehingga menggagas berdirinya entitas super holding baru yang diberi nama Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (Danantara).
Dengan rencana entitas baru super holding Danantara mencakup seluruh BUMN, diharapkan lebih menghasilkan yield atau imbal hasil yang lebih berlipat ganda mengingat total asset seluruh BUMN yang akan tergabung cukup cetar membahana mencapai sekitar US$ 900 miliar atau equivalen kira kira 14 ribu triliun rupiah, lebih besar dari asset yang dikelola oleh holding Temasek Singapura.
Usahawan mana yang tidak tergiur untuk menggunakan total aset gabungan BUMN sebesar itu untuk dijadikan modal investasi jumbo bertujuan menggandakan imbal hasil yang lebih baik?
Maka, di-launching lah entitas bisnis negara yang baru ini pada 25 Februari 2025 oleh Presiden Prabowo sebagai sebuah badan pengelola investasi milik negara.
Tujuannya, untuk mengonsolidasi serta optimalisasi investasi negara dalam rangka pertumbuhan ekonomi nasional.
Ini tentunya gagasan yang cukup mulia. Sebab, aset yang akan digunakan bersumber dari keuangan negara maka para pakar keuangan menganggap model investasi yang akan dikelola oleh BPI Danantara merupakan bentuk Sovereign Wealth Fund (SWF).
Walaupun banyak pakar keuangan yang menyebut BPI Danantara dalam operasinya akan mirip dengan perusahaan investasi Temasek Holdings milik pemerintah Singapura, namun sebenarnya Temasek Holdings bukan termasuk Sovereign Wealth Fund (SWF), melainkan lebih tepat dikategorikan sebagai perusahaan investasi milik pemerintah (state owned investment company) berwujud Shareholding Capital (SHC).
Meskipun Temasek dimiliki sepenuhnya oleh pemerintah Singapura, namun operasinya lebih mirip dengan perusahaan swasta yang berfokus pada investasi komersial dengan dengan tujuan menghasilkan keuntungan.
Berbeda dengan SWF yang biasanya mengelola asset negara, seperti cadangan devisa atau surplus anggaran untuk tujuan stabilisasi ekonomi.
Apakah BPI Danantara juga akan melakukan praktik bisnis yang sama dengan Temasek, yang berinvestasi dalam portofolio beragam, termasuk saham, obligasi dan aset lain yang fokus pada pengembalian finansial jangka panjang?
Ataukah tujuan penggunaan daya untuk mendanai proyek proyek strategis di Indonesia akan terjawab pada operasional Danantara selanjutnya dihari mendatang?
Mungkin Presiden Prabowo begitu bersemangat dalam pendirian Danantara ini, sehingga walaupun Undang Undang BUMN yang selama ini menjadi payung hukum berdirinya BUMN berhasil direvisi menjadi Undang Undang BUMN yang baru untuk mengakomodasi berdirinya Danantara.
Namun, saat launching berdirinya BPI Danantara tanggal 25 Februari 2025, undang undangnya sendiri belum dicatatkan dalam lembaran negara sehingga belum dapat diakses oleh seluruh rakyat Indonesia.
Bahkan belum terbit Peraturan Pemerintah yang mengatur lebih lanjut langkah operasionalnya, termasuk Peraturan Presiden yang berkaitan.
Sehari setelah launching berdirinya BPI Danantara, catatan pengamatan penulis tentang pendirian dan reaksi masyarakat dan bursa efek yaitu:
– Penerimaan beragam dari masyarakat baik itu positif maupun negatif
Masyarakat menyambut secara positif pendirian BPI Danantara karena mengharapkan badan pengelola investasi ini menjadi katalisator untuk pembangunan ekonomi nasional melalui investasi di sektor strategis, dapat diindikasikan dari tren kenaikan saham saham BUMN yang terkait dengan sektor infrastruktur, energi dan logistik.
Mungkin investor berharap BPI Danantara akan berinvestasi besar besaran pada sektor sektor itu.
Namun demikian, volatilitas jangka pendek perdagangan bursa efek yang dipengaruhi oleh faktor faktor sentimen, berita, aktivitas perdagangan walau menciptakan peluang dapat pula menjadi mudharat bagi investor yang tidak siap menghadapi perubahan yang cepat di dunia bisnis.
– Kekhawatiran atas akuntabilitas dan korupsi
Mengingat sejarah panjang pengelolaan BUMN soal akuntabilitas dana publik, di mana sebagian masyarakat mempertanyakan transparansi dan akuntabiltas yang dinilai kurang efisien. Bahkan beberapa BUMN yang terjerumus ke dalam fraud menjadi faktor kekhawatiran masyarakat dan pasar.
Dapat dibayangkan trauma masyarakat terutama yang berinvestasi di BUMN mengalami kerugian di masa lalu, seperti nasabah Asabri, Jiwasraya dan lain lain.
Belakangan, indikasi korupsi dan kerugian negara di Pertamina Patra Niaga. Tidak tanggung tanggung kerugian negara mencapai 193 triliun rupiah.
Angka kerugian negara yang bikin masyarakat mengelus dada berulang ulang dapat memupuskan rasa optimis terhadap masa depan Danantara.
Bayangkan bila seluruh BUMN diibaratkan sebagai seluruh telur yang digabungkan ke dalam sebuah keranjang yang sama, lalu dibawa oleh seorang pembawa keranjang yang berlari kencang.
Bila tidak hati hati dan amanah serta bertanggung jawab, berisiko si pembawa keranjang terjerembab dengan seluruh telur yang hancur lebur.
Karena itu, jangan biarkan BPI Danantara menjadi ajang intervensi politik dan dikemudikan oleh para figur pengelola yang tidak amanah. (*)

previous post