Oleh :
dr. Margreth A. Banurea
***
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah menetapkan virus corona sebagai pandemi pada hari Rabu (11/3/2020). Hal ini membuat pemerintah dan masyarakat dunia makin waspada dengan penyebaran virus corona (Covid-19). Adanya pandemi Covid-19 menyebabkan gangguan di berbagai macam aspek kehidupan, termasuk salah satu diantaranya adalah gangguan kesehatan mental.
Gangguan kesehatan mental bias terjadi diakibatkan karena adanya karantina dan isolasi diri, beraktivitas di rumah, panic buying, gangguan finansial, hingga perubahan penanganan di fasilitas kesehatan. Kondisi yang berubah dengan begitu cepat, untuk waktu yang tidak dapat ditentukan lamanya, serta pemberitaan secara terus-menerus di media massa maupun elektronik menyebabkan perubahan kesehatan mental. Survei yang dilakukan di Tiongkok menunjukkan peningkatan gangguan cemas, panik, dan depresi.
Cemas bukanlah hal yang negatif, melainkan sebuah respon normal manusia ketika menghadapi situasi yang membahayakan fisik maupun jiwanya. Kecemasan berguna untuk memberikan peringatan pada manusia atas sesuatu yang akan dihadapi, sehingga manusia bisa bersiap-siap untuk menghadapi atau menghindarinya. Jika cemas yang kita rasakan berhubungan dengan situasi atau masalah tertentu, hanya berlangsung selama masalah itu terjadi, tidak berlebih-lebihan dan realistis dengan situasinya, maka apa yang kita rasakan masih dapat dikategorikan kecemasan normal.
Namun, kecemasan akan menjadi masalah yang serius jika tidak dapat dikendalikan dan mengganggu fungsi kita sebagai manusia. Orang yang mengalaminya akan merasa terjebak dalam pikiran dan perasaannya sendiri, serta bisa saja berdampak pada fisiknya.
Gangguan cemas adalah keadaan tegang berlebihan atau tidak pada tempatnya yang ditandai oleh perasaan khawatir, tidak menentu, atau takut. Kata anxietas atau cemas berasal dari bahasa Latin, angere, yang berarti tercekik atau tercekat. Gajala gangguan cemas terdiri dari dua komponen, yaitu : gajala psikis dan gejala fisik.
Gejala psikis yaitu berupa kecemasan itu sendiri (bisa khawatir atau was- was), dan gejala fisik berupa: jantung berdebar, napas cepat yang sering dirasakan sebagai sesak, jari-jari tangan dingin, berkeringat dingin, kepala pusing, mulut kering, ketegangan otot, nafsu makan berkurang, tidur tidak nyenyak, bahkan bisa merasakan nyeri ulu hati (maag) dan gangguan pencernaan. Gangguan cemas harus diawasi karena juga dapat berimplikasi pada gangguan emosi lain, seperti depresi.
Untuk mencegah gangguan cemas di masa pandemi virus korona, WHO menyarankan kita untuk memilah informasi seputar pandemic covid-19 sesuai kebutuhan. Namun, kita tetap perlu memperbarui informasi sesekali dari sumber kredibel untuk memantau perkembangan pandemi penyakit ini. Rasa cemas juga bisa diatasi dengan melakukan relaksasi, melakukan komunikasi dengan keluarga maupun sahabat, olahraga ringan, melakukan hobi yang menyenangkan, memperkuat ibadah, serta tetap memenuhi makanan dengan gizi seimbang.
Namun, jika gejala sudah berat dan mengganggu aktivitas sehari-hari, penderita gangguan cemas bisa mencari pertolongan kepada tenaga profesional seperti psikolog atau psikiater untuk diberikan obat dan terapi. Psikoterapi bisa dilakukan supaya pasien bisa menyelesaikan masalahnya dengan tenang, sehingga tidak terjadi gangguan di kemudian hari.
Lakukan segala upaya untuk menghindari kecemasan yang berlebih-lebihan, karena di dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang sehat pula. (*)
Artikel ini adalah opini pribadi penulis dengan judul asli: “Gangguan Cemas di Era Pandemi Covid-19”.