Oleh: Batara L. Tobing (Kolumnis Prosumut.com)
PROSUMUT – Apa yang dilakukan oleh Tom Lembong saat menjabat sebagai Menteri Perdagangan di era Presiden Joko Widodo (Jokowi) berkaitan kebijakan impor gula, ternyata di belakang hari berbuntut apes baginya.
Pasalnya, Tom Lembong dijadikan sebagai tersangka oleh Kejaksaan Agung dalam dugaan kasus pidana korupsi, terkait kebijakan impor gula kristal mentah atas pemberian izin impor gula kepada PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PT PPI) di tahun 2015-2016 yang bekerja sama dengan pihak swasta.
Penyidik menduga izin impor gula itu diberikan di saat produksi gula nasional dalam posisi surplus. Karena itu, berpotensi kerugian negara sebesar Rp 400 miliar menurut hitungan Kejaksaan Agung.
Pemberian impor gula dianggap sebagai penyalahgunaan wewenang dengan indikasi adanya dana yang mengalir secara illegal kepada pihak-pihak tertentu dalam proses perizinan.
Tentu saja pihak Tom Lembong membantah tuduhan posisi surplus produksi gula saat kebijakan impor gula itu dilakukan.
Tidak begitu jelas, apakah saling klaim atas data defisit atau surplus gula nasional ini berdasarkan sumber data yang teruji validitasnya menjadi satu hal yang selama ini seringkali menjadi silang sengkarut di antara instansi penyelenggara negara.
Menjadi semakin ruwet di saat data statistik yang dijadikan acuan untuk pengambilan kebijakan pemerintah, berbeda antara satu instansi dengan instansi lainnya dan malah masuk dalam ranah hukum pidana.
Kali ini, para punggawa penegak hukum diuji dalam praktik keadilan hukum dan konsistensi penerapan hukum positif di Indonesia.
Menjadi perdebatan panjang di dunia hukum dan masyarakat umum, apakah kebijakan pemerintah impor gula seperti yang telah dilakukan oleh Menteri Perdagangan Tom Lembong yang sebenarnya masuk dalam ranah hukum administrasi ini dapat dijadikan menjadi perkara pidana?
Dalam sebuah seminar yang dilakukan oleh Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) tanggal 7 Maret 2014 yang lalu, seorang pakar hukum yang menjadi narasumber, Dr Dian Puji Simatupang SH MH selaku pengajar Hukum Administrasi Negara FHUI mengritisi undang-undang di Indonesia yang memungkinkan kebijakan yang salah dimasukkan dalam ranah pidana.
Sang ahli hukum administrasi negara ini berpendapat, bahwa pengambilan kebijakan tidak dapat dipidana karena pejabat negara yang mengambil kebijakan mempunyai wewenang atributif dan perlu juga dilihat manfaat dari kebijakan publik tersebut.
Terlepas dari perdebatan panjang di antara pakar hukum tentang apakah kebijakan pemerintah dapat dimasukkan dalam ranah hukum pidana?
Sebenarnya, dalam penerapan pidana juga tidak terlepas dari unsur mens rea yaitu niat seseorang di saat berbuat atau tidak berbuat sesuatu.
Apakah sesuatunya berdasarkan niat jahat atau niat baik? Tentu, perlu pembuktiannya oleh penyidik dalam perkara ini.
Mungkin ini pula yang menjadikan Komjen (Purn) Oegroseno, mantan Wakapolri bersuara keras soal perlunya penyidik menguji mens rea atau niat di balik kebijakan impor gula yang dilakukan oleh Menteri Perdagangan di masa Tom Lembong ini.
Penyidik Kejaksaan Agung perlu membuktikan adanya bukti aliran uang terkait penetapan tersangka mantan Menteri Perdagangan Tom Lembong.
Kemudian, untuk memenuhi rasa keadilan hukum di masyarakat yang menjadi pertanyaan, bagaimana pula kebijakan menteri perdagangan sebelumnya?
Akankah ditelusuri juga niat pembuat kebijakan di masa itu, untuk masuk pula dalam ranah hukum pidana? Inilah yang menjadi pertanyaan selanjutnya.
Atau, apabila para penegak hukum ingin menguji kebijakan pejabat pengelola negara untuk dijadikan perkara pidana, bagaimana pula dengan peraturan yang sudah terlanjur dioperasionalkan namun bertentangan dengan perundangan di atasnya?
Ambil contoh soal kebijakan pemerintah yang memberikan prioritas izin usaha tambang kepada organisasi kemasyarakatan (ormas) yang sudah menjadi peraturan pemerintah.
Padahal, Undang-undang Minerba justru memberi prioritas dengan memperhatikan daerah di wilayah tambang yang dapat dilakukan oleh BUMD.
Begitu banyak sisi lain praktik hukum yang mendapatkan perhatian di masyarakat pada era keterbukaan publik, secara tidak langsung mendorong para penegak hukum lebih arif dan berhati-hati.
Di samping ekspektasi dan tuntutan masyarakat dalam penerapan hukum yang lebih berkeadilan dan kepastian hukum, catatan perkara yang terjadi juga menjadi catatan sejarah dan bahkan menjadi yurisprudensi pada penerapan hukum di masa mendatang.
Sebagai implikasi era keterbukaan, masyarakat semakin intens dan kritis mengikuti penerapan hukum dengan berbagai persepsi masing masing.
Tidak salah pula apa yang diucapkan oleh Van Apeldoorn, seorang pakar hukum bahwa hukum itu seperti melihat gunung. Dari kejauhan tampak pemandangan gunung yang indah dalam lukisan pikiran orang yang melihatnya. Namun, begitu masuk ke dalamnya maka akan ditemui rintangan hutan belukar dan binatang buas serta ular berbisa yang membuat orang yang memasukinya mengalami kesulitan dan putus asa.
Begitu banyak hal sulit dalam penerapan hukum, namun walau langit runtuh, keadilan mesti ditegakkan. (*)
Editor: M Idris