PROSUMUT – Pakar hukum tata negara Refly Harun menyinggung susahnya penegakan hukum di Indonesia, termasuk saat menindak pelanggaran atau kecurangan pemilu.
Hal ini disampaikan dosen pasca-sarjana Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada ini saat mengisi ceramah sebelum salat tarawih di Masjid Kampus UGM sebagai bagian acara “Ramadan di Kampus”, dilansir Gatra, Rabu 15 Mei 2019.
Ceramah Refly mengusung tema “Refleksi Penyelenggaraan Hukum di Indonesia Menuju Indonesia sebagai Pemimpin Dunia”.
Refly mengatakan pentingnya masyarakat mengetahui persoalan-persoalan yang dihadapi hukum di Indonesia.
Menurutnya, ada tiga hal yang mesti diperhatikan jika membahas persoalan hukum di Indonesia.
Ketiga hal itu adalah substansi hukum, institusi atau pelaku hukumnya, dan kultur hukum yang selama ini berjalan di Indonesia.
Refly mencontohkan persoalan hukum tersebut dengan pemilihan umum yang baru saja berjalan.
Ia berpendapat, selama ini ada aturan yang justru membuat para pelanggar atau pelaku kecurangan di pemilu sulit dikenai sanksi.
“Ada persoalan substansi hukum di sini. Politik uang, misalnya. Kita yakin selalu ada politik uang, tapi hampir tidak ada calon yang dicoret karena terlibat politik uang,” kata alumni Fakultas Hukum UGM ini.
Ia menjelaskan, kondisi itu karena untuk mendiskualifikasi calon dibutuhkan ketetapan hukum tetap.
“Itu membutuhkan proses yang lama. Belum lagi jika sang terlapor memiliki kekuatan untuk menekan proses hukum yang berlaku,” katanya.
Refly menjelaskan, pelanggar pemilu harus mendapat sanksi dari Badan Pengawas Pemilu.
Dengan demikian, calon yang curang dalam pemilu cukup didiskualifikasi menggunakan pembuktian Bawaslu, tanpa menunggu proses pemidanaan.
“Dibuktikan oleh Bawaslu dan bisa dicoret. Masalah hukum pidananya bisa dilaksanakan setelah itu. Biar tidak berputar dulu prosesnya. Lama. Kan pemilu ini proses yang cukup cepat,” ujarnya.
Selain substansi hukum, menurut Refly, perangkat hukum di Indonesia juga bermasalah.
Padahal, penegak hukum harus memiliki tiga hal penting yakni integritas, netralitas, dan kapasitas. Tiga hal ini sangat susah dicapai aparat hukum Indonesia
“Netralitas kenapa susah? Karena banyak para penegak hukum itu melayani kepentingan dan pimpinanannya, bukan publik. Padahal sebagai pejabat negara yang didahulukan tentu kepentingan pelayanan publik,” ujar Refly.
Selain substansi dan perangkat hukum, Refly menilai kultur taat hukum di Indonesia juga masih rendah.
“Misal kita kenapa pakai helm? Taat aturan atau takut polisi? Kebanyakan karena takut polisi. Memang kultur taat hukum kita masih rendah. Hal itu berpadu dengan struktur hukum yang juga lemah,” kata Refly. (*)