Prosumut
Opini

Pulau Milik Siapa?

Oleh: Batara L. Tobing (Kolumnis Prosumut.com)

PROSUMUT – Di hari minggu pagi 13 Maret 2018, serombongan anggota DPRD Sumatera Barat mengunjungi Pulau Makakang yang berada di wilayah Kabupaten Mentawai Provinsi Sumatera Barat.

Saat itu, mereka diajak oleh anggota DPRD Mentawai Nikanor Saguruk yang mungkin ingin menunjukkan keindahan pantai di Pulau Makakang yang indah dan berpasir putih.

Namun apa daya, sesaat sebelum mendarat di pantai, seorang bule mendatangi mereka, dengan tegas melarang rombongan turun dari perahu untuk menginjakkan kaki di pasir putih pantai itu.

Sang bule yang mengaku sebagai pengelola resort di pulau itu dan sempat pula bersitegang dengan para anggota legislatif itu yang akhirnya pulang, urung menikmati indahnya pulau.

Dalam mengekspresikan kemarahannya, para anggota legislatif itu mengingatkan bahwa pulau Makakang itu masih termasuk wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), kenapa mereka tidak diizinkan menginjakkan kaki di sana?

Peristiwa konyol namun lucu bagi sebagian orang di tengah persoalan governance administrasi daratan, pulau dan lautan di negara kita oleh pemerintah.

Perlakuan pahit yang dialami oleh para anggota DPRD itu sempat pula menjadi pro kontra yang viral dengan berbagai perspektif kejadian.

Mulai dari pengelolaan pulau yang eksklusif, komunikasi antara pemerintah dengan pebisnis pengelola resort sampai pada proses dan prosedur pemberian izin dan sewa pulau dari pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.

Tampaknya para anggota legislatif malah tidak begitu paham dengan tata kelola pulau pulau yang disewakan kepada para pengelola untuk dijadikan resort eksklusif, dan bahkan beberapa pulau pulau sejenis yang berada di wilayah Mentawai dijadikan pula menjadi resort eksklusif yang tidak sembarangan orang dapat mengunjunginya.

Bagaimana muasal pemberian izin atau sewa pulau, pengawasan wilayah dan keamanannya, termasuk izin tenaga kerja asing yang berlaku atas bisnis wisata yang diselenggarakan?

Persoalan ribuan pulau yang tersebar di seantero Nusantara ini memang banyak ragamnya dengan tata kelola yang dirasakan sangat kurang memadai.

Beberapa pulau di seputaran Kepulauan Riau malah dikabarkan menghilang disebabkan kegiatan pengerukan pasir yang diangkut dan diperjual belikan baik secara legal maupun ilegal.

Itulah sebabnya beberapa daratan dan pulau pulau di wilayah Indonesia berkurang, sementara di lain pihak Singapura contohnya, daratan mereka semakin luas dari hasil pengurukan dan reklamasi pantai mereka.

Dari mana pasir uruk yang digunakan? Tentu saja dari pulau pulau yang berada di wilayah Indonesia.

Praktik puluhan tahun yang tetap berlangsung dan mengindikasikan tata kelola pulau pulau di wilayah NKRI tidak begitu jelas juntrungannya.

Mungkin saking banyaknya pulau pulau di Nusantara, bahkan banyak pula yang tidak berpenghuni dan tidak terpetakan dengan baik, termasuk pengawasan dari pemerintah daerah dan pusat yang masih lemah.

Beberapa pulau tidak mendapatkan pengelolaan yang baik untuk mendatangkan manfaat bagi rakyat dan pemerintah bahkan menjadi terabaikan.

Persoalan tata kelola ribuan pulau pulau yang tersebar di seluruh Nusantara ini pula dapat menjadi konflik rumit berkepanjangan, seringkali merepotkan pula.

Terutama, bila pulau pulau itu disadari ternyata menyimpan potensi ekonomis yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan.

Belakangan, suasana adem ayem di empat pulau yang berada pada perbatasan wilayah Singkil Aceh dan Tapanuli Tengah di Sumatera Utara yaitu Pulau Lipan, Pulau Panjang, Pulau Mangkir Kecil dan Pulau Mangkir Besar berubah menjadi panas.

Hal itu akibat adanya Keputusan Meteri Dalam Negeri Nomor 300 Tahun 2025 yang menetapkan keempat pulau yang masuk sebagai wilayah Tapanuli Tengah Sumatera Utara, di mana Pemerintah Provinsi Aceh pula mengklaim keempat pulau sebagai wilayah mereka.

Ada apa sebenarnya persoalan rebutan pulau di wilayah ini menjadi urusan yang panas dan ramai? Toh, selama ini kedua provinsi tidak begitu memberikan perhatian yang besar terhadap keempat pulau dari ribuan pulau yang ada di Nusantara ini menjadi hal yang menjadi misteri pula.

Keempat pulau yang menjadi sengketa, selama ini tidak memberikan kontribusi signifikan terhadap pendapatan daerah maupun peningkatan kehidupan ekonomi rakyat di daerah itu.

Mengapa belakangan hari menjadi persoalan panas dan viral, bahkan merembet menjadi persoalan politik pula?

Akhirnya publik malah berspekulasi dengan berbagai perspektif dan argumen tidak sehat, tentang bagaimana ikhwal sebenarnya sengketa pulau yang terabaikan timbul kembali menjadi kisah misteri pula.

Dari sisi komunikasi publik, sengketa wilayah semacam ini dapat pula menjadi sajian peristiwa yang menggelinding, terutama bagi para penganut FOMO (Fear Of Missing Out).

FOMO di era perkembangan media sosial saat ini adalah semacam perasaan cemas atau khawatir tentang ketinggalan informasi atau peristiwa penting yang dirasakan orang lain, tetapi tidak dirasakan atau diketahui diri sendiri, atau semacam syndrom ketinggalan berita lah.

Bagi para FOMO, sesuatu peristiwa sengketa empat pulau yang dengan cepat menggelinding dapat pula terakumulasi menjadi isu politik yang merugikan bersama rakyat Indonesia.

Sudah saatnya pemerintah berani jujur dan terbuka mengkomunikasikan kebijakan publik terutama yang menyangkut wilayah secara sensitif agar dapat dipahami oleh masyarakat luas. (*)

Konten Terkait

Garuda di Dadaku

Editor prosumut.com

Upin Ipin, Hitler, Kaisar Nero

Editor prosumut.com

Pengesahan RUU TNI: Ancaman Independensi KPK & Kejaksaan junto Jurnalis!  

Editor prosumut.com

Posisi Penting dan Potensi Strategis Sumut Memaknai Pembangunan Indonesia Maju

Editor prosumut.com

Catatan Persoalan Moral dan Etika Masyarakat Kota Medan

Editor prosumut.com

RS HKBP Nainggolan; Sebuah Kejayaan Masa Silam

Editor prosumut.com
PROSUMUT
Inspirasi Sumatera Utara