Prosumut
Umum

Natuna, Harta Karun Penuh Berharga

KETEGANGAN hubungan Indonesia dengan China gara-gara perairan Kepulauan Natuna bukan persoalan yang baru. Sebelumnya, hal serupa juga pernah terjadi pada pertengahan 2016. Dan tahun ini adalah “season 2” dari seri konflik maritim Indonesia-China.

Dengan berpedoman pada Nine Dash Line atau 9 Garis Putus-putus yang dibuat mereka sejak tahun 1947, China mengklaim dan masih konsisten sampai tulisan ini dibuat dengan statement bahwa batas teritorial laut mereka membujur dari utara, melewati laut Filipina, terus menuju selatan hingga mencaplok sebagian perairan Natuna milik Indonesia.

Singkatnya, China menyebut wilayah itu sebagai traditional fishing ground mereka — yang justru lama kelamaan lebih seperti battleground antara China versus negara-negara di Asia Tenggara.

Jika ditelaah lebih lanjut lagi, klaim Negeri Tirai Bambu tersebut berdampak pada hilangnya luas perairan Indonesia sekitar 83.000 km2 atau 115 kali luas negara Singapura.

Hal ini yang membuat Presiden Joko Widodo geram dan tegas memberi ‘kode’ kepada China dengan mengadakan rapat di atas kapal perang KRI Imam Bonjol-383 di perairan Natuna pada 2016 silam.

Kala itu, presiden ditemani oleh beberapa petinggi negara yang tengah menjabat seperti Luhut B. Pandjaitan selaku Menko Polhukam, Jendral Gatot Nurmantyo selaku Panglima TNI, Susi Pudjiastuti selaku Menteri KKP, dan Pramono Anung selaku Seskab.

Di samping itu, ada pula Sudirman Said selaku Menteri ESDM, Laksamana Ade Supandi Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL), Sofyan Djalil Kepala Bappenas, Arie Soedewo Kepala Badan Keamanan Laut (Bakamla), serta Nurdin Basirun Gubernur Kepulauan Riau.

Situasi mencekam ini diawali dengan ditemukannya kapal coast guard yang diketahui milik China tengah berada di wilayah Kepulauan Natuna yang notabene merupakan wilayah kedaulatan Indonesia.

Kejadian ini yang memicu sikap reaktif Indonesia yang memutuskan bersikap dengan melontarkan beberapa tembakan peringatan ke arah kapal nelayan China karena dianggap telah mencuri ikan di perairan Indonesia.

Hal ini membuat pemerintah China melayangkan protes dan begitulah situasi mencekam berlanjut.

Terlepas dari illegal fishing yang dilakukan oleh nelayan-nelayan China dengan kedok klaim pemancingan tradisional, China jelas secara sengaja dan terang-terangan menerobos zona eksklusif ekonomi di wilayah perairan milik Indonesia dan menempatkan kapal-kapalnya.

Jika niatnya memang hanya untuk mencuri ikan, China bisa saja langsung menarik kapal-kapalnya tersebut setelah berhasil mendapatkan sumber daya alam yang mereka ambil.

Kejadian ini bisa jadi merupakan salah satu bentuk upaya China untuk mengetahui reaksi pejabat-pejabat terkait yang baru menjabat di pemerintahan Presiden Joko Widodo jilid dua.

Setidaknya itu anggapan dari Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana.

“Kalau sekarang kan China ingin menguji nih menteri-menteri baru. China akan selalu mempertahankan keberadaan fisiknya di Natuna Utara dan tidak akan pernah pupus sampai akhir zaman selama sembilan garis putus dan traditional fishing right dijadikan dasar klaim mereka,” jelas Hikmahanto.

Alih-alih mengakui konsep 9 Garis Putus-putus yang diklaim China, Indonesia lebih berpegang teguh pada Konvensi PBB Tentang Hukum Laut tahun 1982 (UNCLOS 1982) sebagai dasar hukum.

Salah satu aspek paling revolusioner dari konvensi ini adalah penegasan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE), yakni zona maritim yang berbatasan dengan laut territorial yang tidak melebihi 200 mil laut jika diukur dari garis-garis pangkal.

Dalam ZEE, suatu negara berhak untuk mengeksplorasi dan mengeksploitasi segala sumber daya baik itu hayati atau non-hayati. Tidak hanya itu, konservasi dan juga segala bentuk upaya pelestarian lingkungan laut juga diperbolehkan dan menjadi otoritas suatu negara tersebut.

Zona ini juga mempunyai yurisdiksi antara lain perlindungan dan pelestarian lingkungan laut, membuat peraturan dan perizinan atas riset ilmiah tentang kelautan, serta memberikan izin atau tidaknya pulau-pulau buatan, instalasi, dan bangunan-bangunan lainnya di laut.

Indonesia bukan minim usaha. Menteri KKP pada saat itu, Susi Pudjiastuti bahkan sampai mengancam membawa kasus ini ke meja Pengadilan Hukum Laut Internasional jika China bersikeras tetap mengklaim perairan Natuna sebagai zona tradisional perikanan mereka.

Namun konflik maritim Indonesia-China pada saat itu berhasil diredam dengan upaya diplomasi antar kedua negara. Pemerintah China terlebih dahulu menyambangi Indonesia, dan diikuti oleh Menko Luhut yang melakukan kunjungan balasan ke China setelahnya.

Sepulangnya dari China, Luhut menyatakan bahwa kedua negara sepakat untuk meredam pertikaian dan lebih menahan diri menyikapi hal-hal yang berkaitan tentang perikanan.

Terlebih, Indonesia dan China bahkan melakukan kerja sama dalam hal penangkapan dan pembuatan pabrik ikan.

‘Harta Karun’ dalam Perairan Natuna
Indonesia merupakan negara maritim yang memiliki banyak sekali sumber daya alam yang tersimpan di bawah laut. Tak terkecuali perairan Natuna yang kini tengah menjadi polemik usai klaim China.

“Potensi sumber daya alam besar di Natuna. ZEE kan potensi kolom airnya banyak, ada ikan dan lain-lain. Belum nanti di dasar lautnya ada gas alam. Ingat China punya rakyat 1,3 miliar penduduk. Kalau mereka tidak agresif mengklaim, mau dikasih apa rakyatnya?” ujar Hikmahanto.

Dilansir dari data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), cadangan gas alam yang dimiliki Indonesia mencapai 144,06 triliun kaki kubik (TCF) yang terbagi atas cadangan terbukti (P1) sebesar 101,22 TSCF dan cadangan potensial (P2) sebesar 42,84 TSCF.

Terbagi di beberapa blok di Natuna seperti 49,87 TCF di Blok East Natuna, 16,73 TCF di Blok Maluku, dan 2,66 TCF di Selat Makassar. Dengan data di atas, perairan Natuna disebut-sebut sebagai wilayah dengan cadangan gas terbesar di Asia Pasifik.

Hikmahanto menyebutkan ada beberapa langkah yang perlu diambil oleh pemerintah dalam upaya menjaga kedaulatan laut Indonesia khususnya wilayah perairan Natuna.

Langkah pertama adalah mengulangi cara tahun 2016 dengan hadir menggelar rapat di KRI. Pakar hukum internasional itu menilai dengan memperlihatkan wajah-wajah baru pejabat terkait akan membuat Indonesia menunjukkan keseriusannya dalam menjaga wilayah territorial lautnya agar tidak sembarang dilewati oleh kapal-kapal asing tanpa izin apapun alasannya.

Langkah kedua yang harus dilakukan adalah memberi fasilitas kepada nelayan-nelayan lokal Indonesia untuk melakukan penangkapan ikan.

Dengan memberi fasilitas, nelayan-nelayan Indonesia akan lebih mudah dan leluasa dalam mengeksplorasi sumber daya bahari dengan catatan menggunakan alat-alat yang tidak merusak lingkungan.

“Akan tetapi perusahaan-perusahaan yang sudah dapat konsensi pengeksploitasian gas tolong diminta agar segera dieksekusi,” imbuhnya.

Langkah pamungkas yang harus dilakukan menurutnya adalah dengan meningkatkan intensifitas patrol laut oleh Bakamla KKP bersinergi dengan TNI Angkatan Laut dalam rangka penegakan hukum terhadap illegal fishing oleh kapal-kapal China.

Selain itu langkah ini juga penting dilakukan demi melindungi nelayan-nelayan kita yang diusir oleh Coast Guard milik China.

Tentunya langkah diplomasi penting dilakukan demi menjaga stabilitas hubungan antara kedua negara. Diperlukan kepala dingin demi menghindari konflik yang dapat berujung pada agresi.

Sebagaimana yang dikatakan oleh Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan, masuknya kapal-kapal China ke wilayah perairan Indonesia adalah akibat dari kurangnya kemampuan Indonesia untuk menjaga ZEE.

Presiden Joko Widodo juga telah memerintahkan penambahan kapal-kapal yang nantinya akan disiapkan oleh Menteri Pertahanan, Prabowo Subianto yang berukuran 138-140 meter frigate pada tahun ini. (*)

Konten Terkait

Dr Jan S Maringka Arahkan OPD Pemko Medan Jalankan Progran Pembangunan

Editor prosumut.com

Bantu Korban Gempa Taput, Bulog Salurkan Bahan Pangan

Editor prosumut.com

Longsor di Parapat, PSI Sumut Minta Pemerintah Sasar PT TPL

Editor prosumut.com