Oleh : Affan Bey Hutasuhut | Wartawan Majalah TEMPO 1987-1994 | Kolumnis Tetap Prosumut.com
KETIKA tragedi sepak bola berdarah Heysel terjadi pada tanggal 29 Mei 1985 lalu, dunia terguncang, dunia menangis, dunia terhenyak. Sebab saat pertandingan antara Liverpool dan Juventus di Piala Champions, terjadi kerusuhan yang menyebabkan tewasnya 39 penonton dan lebih 600 luka-luka.
Musibah ini berawal dari tabiat masing-masing suporter yang saling mengejek yang berujung malapetaka.
Sebelum pertandingan dimulai, kelompok hooligan Livervol tiba tiba menerobos ke wilayah pendukung Juventus.
Saat fans Juventus kabur, dinding pembatas masuk ke area fans Juventus roboh akibat beratnya beban ratusan orang yang melompat. Para korban tersungkur tewas dan luka-luka tertimpa dinding yang rontok.
Masyarakat dunia marah. Perdana Menteri Inggris Margaret Thatcher, menyerukan hukuman yang lebih keras pada hooligan sepak bola.
“Kita harus membersihkan permainan dari hooliganisme,” katanya kepada BBC London. katanya.
Sayang, seiring dengan waktu, sejarah kelamnya kerusuhan suporter sepak bola begitu mudahnya dilupakan.
Dan Tragedi berdarah Kalinjuhang pun terjadi yang lebih seram dari peristiwa Heysel.
Akibat kerusuhan yang melanda pertandingan Arema FC dan Persibaya pada Sabtu (01/10), menyebabkan 127 orang tewas dan 180 dirawat.
Pemicunya suporter Arema FC murka lantaran tim kebanggaannya kalah. Emosi terpanggang lalu menyerbu memasuki lapangan.
Pemain Persebaya buru-buru meninggalkan lapangan menggunakan mobil barracuda. Sementara sejumlah pemain Arema FC yang bertahan di lapangan babak-belur dihajar pendukungnya sendiri
Karena kerusuhan yang makin beringas membuat polisi menembakkan air mata hingga membuat perusuh berlarian tak tentu arah sehingga banyak yang terinjak dan tewas.
Bukan Kitab Suci
Sejauh ini tak ada aturan yang melarang orang untuk fanatis terhadap tim sepak bola kesayangannya.
Yang jadi soal jika iblis ikut campur mencabik-cabik hati suporter hingga fanatisme berubah liar seakan sepak bola setara dengan kitab suci yang tak boleh ternoda.
Padahal dalam pertandingan sepak bola dan olah raga lainnya, kalah, menang, draw, itu hal yang wajar.
Yang patut jadi renungan bahwa jika suatu tim menang itu bukanlah semata-mata karena andilnya pemain yang cekatan, pelatih kelas dunia, dibantu wasit, tim bertabur bintang, dan sebagainya.
Namun semata-mata karena kehendak Tuhan. Begitu pula jika mengalami kekalahan. Tugas manusia berusaha, hasilnya urusan Tuhan.
Jangankan sepak bola, selembar daun pun tak akan jatuh ke bumi tanpa izin Tuhan.
Di dalam ajang kejuaraan olah raga tingkat dunia, olimpiade, kejuaraan Asia, Amerika, negara, dan lainnya berkali-kali terjadi kejutan.
Pemain peringkat satu dunia bahkan bisa kalah dengan tim yang peringkatnya jauh di bawah.
Contohnya Korea Selatan yang dilatih oleh Shin Tae-yong (kini pelatih Tmnas Indonesia) pernah mengalahkan tim panzer Jerman dengan skor 2-0 dalam kejuaraan dunia sepak bola di Rusia tahun 2018 lalu. Jerman sebagai juara bertahan tersingkir.
Padahal Korsel sebelumnya sudah duluan tergusur setelah dua kali menelan kekalahan dari Swedia dan Meksiko dalam Grup F yang didalamnya termasuk Jerman.
Dalam Olimpiade Melbourne 1956 tim sepak bola Indonesia sama sekali tak diunggulkan karena lolos di ajang bergengsi itu setelah Taiwan mengundurkan diri.
Nyatanya Indonesia bisa menahan imbang Uni Soviet (sekarang Rusia) tanpa gol.
Makanya, para suporter yang kerap petantang-petenteng jika timnya kalah, sama saja hatinya takluk dibawah pengaruh iblis.
Emosi disulut kemarahannya agar terbakar membara membuat kerusuhan.
Kalaulah seandainya gugur lantaran berjuang untuk kepentingan bangsa dan negara itu pahlawan namanya.
Jika tewas karena termakan bisa iblis, mati konyol namanya. (×)
Editor : Val Vasco Venedict